"Dalam sepekan ke depan diprakirakan potensi hujan dengan intensitas lebat disertai kilat dan petir," kata Deputi Bidang Meteorologi BMKG R Mulyono R Prabowo dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, seperti dikutip Antara, Jumat (24/1/2020).
Sirkulasi siklonik di sekitar Samudera Hindia selatan Lampung yang diprakirakan akan terbentuk pada tanggal 24 hingga 26 Januari 2020 menyebabkan terbentuknya pola konvergensi serta belokan angin di wilayah Indonesia bagian barat.
Selain itu, kondisi atmosfer Indonesia yang labil menyebabkan massa udara lembab dari lapisan bawah cukup mudah untuk terangkat ke atmosfer. Kedua faktor tersebut menyebabkan peningkatan potensi pertumbuhan awan hujan di wilayah Indonesia bagian barat.
Pada periode 24-26 Januari 2020 hujan lebat berpotensi terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi,Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur.
Banjir di Ciledug, Tangerang, beberapa waktu lalu. (Irfan/era.id)
Kondisi yang sama juga diprakirakan terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Papua.
Sementara pada periode 27-29 Januari 2020 hujan intensitas lebat berpotensi terjadi di Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat,Sulawesi Selatan dan Papua.
Berdasarkan prakiraan berbasis dampak hujan lebat, status Siaga potensi banjir/genangan (24-25 Januari 2020) yang perlu diwaspadai di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
Untuk itu masyarakat diimbau agar tetap waspada dan berhati-hati terhadap dampak yang dapat ditimbulkan seperti banjir, tanah longsor, banjir bandang, genangan, angin kencang, pohon tumbang dan jalan licin.
Curah hujan ekstrem
?Lalu bagaimana tren curah hujan ekstrem di Indonesia? Jika melihat data yang telah dikumpulkan dari beberapa tahun sebelumnya, BMKG menemukan bahwa curah hujan ekstrem intensitasnya akan semakin ekstrem untuk beberapa waktu ke depan.
"Contohnya jika sebelumnya, beberapa tahun lalu itu 200, semakin ke sini bisa mencapai 250, 300 dan 300 sekian, jadi semakin meningkat jumlah atau intensitasnya,” Kepala bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Indra Gustari.
Berdasarkan data intensitas curah hujan saat terjadi banjir besar sejak 1996 menunjukkan curah hujan ekstrem cenderung memiliki tingkat yang bervariasi dan berubah-ubah. Misalnya pada 1996, curah hujan tertinggi tercatat 216 mm per hari, sedangkan di 2006 curah hujan tertinggi mencapai 168 mm per hari.
Pada 2007, saat banjir besar juga terjadi di Jabodetabek, curah hujan meroket hingga 340 mm per hari, namun turun lagi menjadi 250 mm per hari pada 2008. Yang menarik, saat Istana Kepresidenan kebanjiran di 2013, curah hujan paling signifikan saat itu ada di angka 100 mm per hari.
Curah hujan tertinggi kembali meningkat saat Jakarta kembali kebanjiran di 2015, angkanya mencapai 277 mm per hari. Sedangkan curah hujan paling signifikan di 2016 mencapai 100 hingga 150 mm per hari.
Sementara itu, Indra mengatakan BMKG dalam skenario proyeksi iklimnya memprediksikan terjadinya kenaikan curah hujan yang lebih ekstrem di beberapa daerah tertentu dan musim kemarau yang cenderung lebih kering pada periode 2032-2040. BMKG menggunakan tiga skenario proyeksi iklim yaitu skenario terburuk, skenario biasa dan skenario optimis.
Skenario terburuk dibuat didasarkan kondisi iklim yang terjadi dengan pengaruh perubahan iklim tanpa ada upaya perbaikan yang dilakukan. Skenario biasa atau business as usual yaitu skenario yang memprediksikan potensi perubahan cuaca yang dikaitkan dengan kurang optimalnya upaya masyarakat untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Sementara skenario optimis, jika dibarengi dengan upaya maksimal dari masyarakat.