Betapa malang Saulina. Hanya karena menebang beberapa batang pohon, nenek berusia 92 tahun itu dilaporkan ke polisi oleh seorang tetangganya.
Ketika orang lain seusianya menikmati masa senja, Saulina malah harus berhadapan dengan masalah hukum.
Kasus Saulina bermula pada November 2016 silam, ketika dia dan enam anaknya menebang beberapa pohon untuk merapikan areal pemakaman anggota keluarga mereka.
Lalu, pada Februari 2017, seorang tetangga Saulina bernama Japaya Sitorus melaporkan Saulina dan anak-anaknya ke polisi dengan tuduhan melakukan perusakan tanaman.
Polisi pun kemudian memediasi Japaya dan Saulina serta enam orang anaknya. Mereka pun meminta maaf. Namun, Japaya tak menggubris permintaan Saulina.
Ia memilih untuk melanjutkan proses hukum terhadap Saulina dan anak-anaknya. Japaya menuntut ganti rugi Rp200 juta pada keluarga miskin itu. Dalam prosesnya, nilai tuntutan terus menurun. Sempat menyentuh angka Rp100 juta hingga Rp50 juta.
Namun, apa daya. Saulina tak memiliki uang sebanyak itu. Lagipula, ketika itu proses hukum terhadap Saulina telah mendekati P21. Akhirnya, ditangkaplah Saulina dan keenam anaknya.
Dalam putusan persidangan yang dibacakan pada Senin (29/1), hakim memvonis satu bulan 14 hari penjara kepada Saulina dan empat bulan 10 hari bagi anak-anaknya. Mereka memang tak dikerangkeng. Sebab, vonis mereka tak lebih tinggi dari periode yang telah mereka habiskan sebagai tahanan rumah.
Saulina bukan yang pertama. Era.id telah mencatat sejumlah preseden terkait kasus ini, yang membuat banyak pihak berharap seluruh persidangan di dunia ini dipimpin hakim-hakim yang memiliki hati nurani.
(Infografis: Sulthanah Utarid/era.id)
1. Kontak batin sandal jepit
Kasus pencurian ini melibatkan AAL (15), seorang pelajar SMK 3 Palu, Sulawesi Tengah. Ia dituduh mencuri sandal jepit milik seorang anggota Brimob Polda Sulteng, Briptu Ahmad Rusdi Harahap.
Proses hukum AAL begitu janggal. Sebab, tak ada satu pun saksi mata. Dan bukti sandal bernomor 43 itu pun aneh. Sebab, Rusdi pun hanya modal klaim, bahwa sandal tersebut adalah miliknya.
Keyakinan Rusdi hanya satu, yakni "kontak batin" dengan sang sandal.
Sandal bermerk Eiger itu pun membuat AAL jadi pesakitan. Sepuluh pengacara mendampinginya, memberi pembelaan atas ketidakadilan yang dialami AAL.
Meski pada akhirnya dibebaskan, proses hukum terhadap AAL dianggap telah memengaruhi kondisi psikologis pemuda itu.
2. Tuntutan Perhutani untuk Nenek Asyani
Asyani, seorang nenek berusia 67 tahun itu tak menyangka akan berhadapan dengan hukum karena tujuh kayu jati. Ia dituntut oleh Perhutani, sebuah perusahaan BUMN yang berwenang atas perlindungan hutan di sejumlah wilayah.
Miris, melihat negara ini menuntut warganya sendiri. Bukan warga yang berjaya karena korupsi. Melainkan nenek miskin yang bahkan jauh dari perilaku maling.
Asyani yang divonis satu tahun penjara oleh pengadilan mengaku tak terima. Asyani mengucap berbagai sumpah. Ia sampai mengajukan sumpah pocong untuk membuktikan dirinya tak bersalah. Asyani mungkin telah frustasi memperjuangkan keadilan lewat pengadilan, cara yang katanya konstitusional.
3. Buah kakao Nenek Minah
Nasib Minah, nenek berusia 55 tahun asal Banyumas, Jawa Timur ini tak kalah pahit. Tiga buah kakao yang ia ambil di sebuah perkebunan di Dusun Sidoarjo, Banyumas, Jawa Tengah membawanya ke kursi panas pengadilan.
Sesaat setelah memetik kakao, Minah sejatinya telah meminta maaf dan mengembalikan tiga buah yang ia petik kepada seorang mandor yang memergokinya.
Permintaan maaf Minah untuk tiga buah kakao dirasa tak cukup, hingga PT RSA, pengelola perkebunan kakao itu melaporkan Minah ke polisi.
Meski tak dipenjara, kasus Minah ini menyedot begitu banyak perhatian. Dalam sidang vonisnya, Minah didampingi begitu banyak kerabat, tetangga hingga aktivis yang memberikan dukungan moril kepadanya.
Suasana sidang hari itu penuh dengan keharuan. Bahkan, Ketua Majelis Hakim, Muslih Bambang Luqmono sampai menangis ketika membacakan vonis untuk Minah.