Sidang yang berlangsung di tengah pencegahan wabah COVID-19 itu dilakukan secara online. Majelis Hakim yang dipimpin Hasanuddin menilai terdakwa Vina alias P (19) terbukti bersalah karena turut serta menjadi objek yang mengandung pornografi.
Dihubungi terpisah, Jumat (3/4), pengacara Vina Garut, Asri Vidya Dewi, pihaknya mengajukan banding atas vonis hakim. “Terhadap putusan tersebut kami menyatakan banding dengan berdasarkan hukum dan alasan yuridis,” tandas Asri.
Asri bilang, kliennya dinyatakan bersalah melanggar Pasal 8 jo. 34 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP, putusan telah dibacakan dalam sidang secara telekonferensi oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Kelas I B Garut dengan putusan 3 tahun penjara dan denda sebanyak 1 miliar atau 3 bulan penjara.
Asri menegaskan, upaya banding penting dilakukan dalam memperjuangan kasus yang menimpa perempuan, dalam hal ini Vina Garut, yang berperkara di tengah sistem hukum patriarki, ketimpangan relasi kuasa, dan kekerasan psikologis.
Menurutnya, dalam kasus ini semestinya ada pertimbangan dari sisi kemanusiaan dan keadilan. Penegak hukum bukan pribadi mekanik yang hanya mematut diri dalam pasal, memaksa memenuhi unsur tanpa melihat realita dan psikologis yang terjadi pada diri perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Ia menyebut, di hadapan dinamika masyarakat yang sangat cepat, hukum selalu tertinggal. Perkembangan hukum di Indonesia atau hukum modern telah memuat adanya feminist legal theory atau feminis jurisprudence yang sudah seharusnya dipergunakan dalam pemidanaan terkait perempuan korban atau yang berhadapan dengan hukum.
Karena itu, upaya banding dilakukan selain karena proses yuridis dalam pencarian keadilan, juga sebagai upaya melihat sejauh mana perspektif dan doktrin hukum mengambil posisi terhadap keadilan perempuan.
“Saya meyakini, bandul pendulum penegak hukum kita masih berayun antara kutub patriarkis dan positivisme. Celakanya, bandul pendulum tersebut bercagakkan equality before the law. Dalam kajian antropologis-sosiologis, tehadap perempuan, belum bisa di-equality before the law-kan sebab perkembangan peradaban perempuan pernah dihambat ribuan tahun, berdampak tidak dianggap equal-nya perempuan di tengah sosial-masyarakat,” urainya.
Namun, lanjut Asri, itulah patriarki dalam hukum. Persoalan ketidakadilan-hukum dan perempuan adalah warisan tidak equal-nya para penegak hukum sejak dalam pikiran. “Sehingga saya dan kawan-kawan menyatakan kebulatan tekad melanjutkan perjuangan perempuan yang terseok-seok menanti keadilan, sementara para pengadil masih mengantuk di gigir sunyi,” katanya.
Dalam kasus Vina Garut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Garut juga akan menyatakan banding. Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa, yakni lima tahun.
Sementara dalam persidangan sebelumnya, majelis hakim memvonis bersalah terdakwa video porno, yakni dua orang laki-laki W (41) dan AD (29). Masing-masing dijatuhi penjara 2 tahun 9 bulan dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan penjara.