Aneka 'Uluran Tangan' Pemerintah Saat Korona, Pengusaha Dapat Apa?

| 15 Apr 2020 14:47
Aneka 'Uluran Tangan' Pemerintah Saat Korona, Pengusaha Dapat Apa?
Ilustrasi (Ahmad Ardity/Pixabay)
Jakarta, era.id – Wabah virus korona baru di Indonesia diprediksi membuat ekonomi lesu. IMF bahkan memprediksi dunia akan mengalami resesi ekonomi dampak virus yang menyebar di seantero dunia tersebut.

Pemerintah tak tinggal diam, berbagai kebijakan sebagai bentuk 'uluran tangan' bagi warga yang terdampak korona diambil seperti jaring pengaman sosial, bantuan sosial (bansos), hingga Kartu Prakerja.

Empat juta orang telah mendaftar Kartu Prakerja, sedangkan lebih dari lima juta orang akan menerima bansos. Gelontoran duit sekitar RP405 triliun disiapkan untuk meredam gejolak akibat COVID-19.

Namun, soal Kartu Prakerja mendapat nada sumbang. Direktur Eksekutif Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah mengkritisi kebijakan yang menjadi janji kampanye Presiden Jokowi itu. Menurutnya akan lebih baik jika bantuan diberikan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) ketimbang program pelatihan.

“Masyarakat yang terkena PHK dan kehilangan income itu umumnya sudah punya pengalaman dan skill. Mereka tidak perlu pelatihan, butuhnya dana tunai, uang,” ujar Piter saat dihubungi, Rabu (15/4/2020).

Selain untuk warga terdampak, bantuan juga harus diberikan pemerintah kepada sektor usaha. “Pemerintah bisa saja meningkatkan bantuan kepada dunia usaha apabila nanti dianggap perlu,” ucap Piter.

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar pun sepakat. Dia bilang sebaiknya Kartu Prakerja lebih difokuskan untuk mendongkrak daya beli pekerja yang terkena PHK atau dirumahkan.

“Bagaimana kalau dana pelatihan Rp1 juta bisa dialihkan untuk bantuan kepada pekerja sehingga (dana bantuan) Rp3.550.000 benar-benar untuk membantu pekerja yang ter-PHK atau dirumahkan tanpa digaji,” kata Timboel saat dihubungi, Rabu (15/4).

Timboel menilai, bantuan sebesar Rp600.000 yang diterima warga saat pandemi korona sangat jauh dari memadai untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga. Sebab, jika dibagi rata, Rp600.000 per bulan sama dengan Rp20.000 per hari. Sedangkan Badan Pusat Statistik pada 2019 mencatat, rata-rata pengeluaran warga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (purchasing power parity) sebesar Rp11,3 juta atau setara Rp941.666 per bulan.

Bagaimana dengan Pengusaha?

Sebagai tempat mencari nafkah karyawan dan 'aktor' utama penggerak roda perekonomian, dunia usaha kini menghadapi dilema. Satu sisi mereka dituntut pemerintah agar tak melakukan PHK karyawan, tapi di sisi lain mereka terus merugi karena merosotnya neraca keuangan dampak dari COVID-19.

Pemerintah kini sedang memfinalisasi rancangan insentif pajak untuk 11 sektor industri selain manufaktur sebagai stimulus di tengah pandemi COVID-19. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan 11 sektor industri itu merupakan sektor yang paling terdampak dari situasi pandemi virus korona baru di antaranya transportasi, perhotelan, dan perdagangan.

Menkeu mengisyaratkan insentif fiskal yang diberikan, salah satunya, akan serupa dengan insentif yang sebelumnya diberikan ke sektor manufaktur yakni pembebasan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 atau pajak gaji karyawan. Kemudian akan terdapat insentif untuk merelaksasi pajak pertambahan nilai (PPN) dan seterusnya.

“Termasuk pajak karyawan, PPN-nya dipercepat, pajak korporasi dikurangkan untuk pembayaran berkala 30 persen. Ini diharapkan dapat memberikan daya tahan bagi perusahaan di 11 sektor tadi,” ujarnya dalam konferensi pers virtual usai sidang kabinet paripurna dari Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Selasa (14/4).

Tapi, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai yang kebijakan pemerintah saat ini belum cukup untuk membuat perusahaan bertahan di tengah hantaman melorotnya ekonomi akibat wabah virus korona.

Insentif fiskal tersebut merupakan bagian dari stimulus pemerintah untuk jangka pendek. Sedangkan untuk jangka menengah hingga jangka panjang, stimulus dari pemerintah sudah diberikan yakni Rancangan UU Omnibus Law Cipta Kerja dan Perpajakan yang diharapkan akan mempercepat masuknya investasi baru ke sektor-sektor industri.

Infografik (Ilham/era.id)

Wakil Ketua Apindo, Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, saat ini pemerintah baru merealisasikan dua jenis insentif yaitu PPh 21 dan 25 yang ditujukan untuk industri manufaktur berbasis ekspor.

“Sedangkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11 Tahun 2020 untuk restrukturisasi kredit bagi perusahaan yang terdampak realisasinya masih sulit karena banyak bank yang belum mau menanggapi,” ujar Shinta saat dihubungi, Rabu (15/4).

Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azzam mengatakan saat ini insentif yang diberikan pemerintah belum terlalu dirasa karena biasanya butuh waktu untuk implementasinya di lapangan.

“Insentif pajak contohnya, efektif bisa dinikmati setelah payment,” kata Bob saat dihubungi era.id, Rabu (15/4/2020).

Sebenarnya, para pengusaha mengharapkan pemerintah menerapkan kebijakan agar cash flow perusahaan tetap berputar. “Sebenarnya yang diharapkan itu cash flow untuk keep running business. Kan sudah enggak ada revenue tapi kita tetap harus bayar fixed cost seperti karyawan, listrik dan lain-lain,” jelasnya.

 

Rekomendasi