Cerita Tenaga Medis Puskesmas Berjuang di Episentrum COVID-19

| 22 Apr 2020 12:25
Cerita Tenaga Medis Puskesmas Berjuang di Episentrum COVID-19
Ilustrasi (Ist)
Bandung, era.id – Bekerja di episentrum penularan COVID-19 menjadi tantangan tersendiri di tengah pandemi penyakit menular yang kini sudah menginfeksi lebih dari 2,4 juta di seluruh dunia itu.

Meski episentrum yang dimaksud hanya berada di level kecamatan, tetap saja para tenaga medis tersebut berjuang di bawah bayang-bayang penyakit paling menular di dunia ini. Mereka merupakan benteng terakhir ketika virus korona baru berhasil lolos dari segala upaya pencegahan dan menginfeksi manusia.

Wilayah Cicendo termasuk episentrum penyebaran COVID-19 di kota Bandung dan sudah ditetapkan sebagai zona merah COVID-19. Dari 155 kasus positif COVID-19 di Kota Kembang, 20 diantaranya ada di wilayah yang membentang dari pintu tol Pasteur, Bandara Husein Sastranegara, hingga Stasiun Bandung itu.

Selain menangani pasien korona, para petugas kesehatan masih harus menghadapi stigma negatif dari masyarakat. Stigma tersebut menjadi beban mental tersendiri bagi mereka.

“Yang paling berat bagi kami bukan hanya melawan penyakitnya, tetapi juga melawan stigma masyarakat tentang pasien, keluarganya, bahkan kepada petugas kesehatan. Kadang kami baru datang untuk penelusuran pasien saja, warga sudah ribut dan takut,” tuturnya.

Ilustrasi (Ist)

Tugas melayani kesehatan masyarakat baginya adalah panggilan jiwa. Sedari awal, ia memilih profesi sebagai dokter kesehatan masyarakat karena ingin menjaga agar warga selalu sehat. Apalagi di tengah situasi seperti sekarang.

Awalnya, ia bercita-cita menjadi dokter spesialis bedah, tapi ternyata terjun di bidang kesehatan masyarakat (public health) lebih mengetuk hatinya.

“Akhirnya saya turun ke puskesmas. Meskipun bukan dipandang sebelah mata, tetapi orang berbeda memandang dokter yang ada di puskesmas,” ungkapnya.

Dokter yang memilih kerja di puskesmas memiliki beban kerja luar biasa. Mereka adalah tingkatan pertama yang akan mendeteksi dan berhubungan langsung dengan pasien.

Deborah bukan kali ini saja menghadapi wabah. Selama 18 tahun berkarier sebagai dokter di puskesmas, ia telah tiga kali menghadapi wabah virus.

Pengalaman mengesankan pertamanya terjadi ketika wabah H1N1 atau flu babi. Saat itu ia kerja di wilayah Ciumbuleuit Bandung. Waktu itu ia turut terjun mengoordinir penanganan wabah dengan aparatur setempat. Begitupun dengan wabah Hepatitis A yang sempat merebak di wilayah yang sama. Ada puluhan mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta yang kena Hepatitis A.

Namun kali ini wabahnya berbeda. COVID-19 diakui paling menguras tenaga dan pikiran. “Sekarang (COVID-19) yang paling melelahkan. Selain karena siklusnya panjang, kita juga harus berhadapan dengan stigma tadi,” katanya.

Deborah mengajak seluruh tenaga medis untuk saling menguatkan. Setiap hari, ia selalu memotivasi stafnya agar tetap semangat dalam bekerja. Ia sangat mengerti bahwa saat-saat terberat di situasi hari ini adalah ketika harus meninggalkan keluarga di rumah.

“Itu paling berat. Kita harus meninggalkan keluarga sementara. Pas awal Maret itu kunjungan pasien ke puskesmas masih sangat tinggi. Sekarang setelah sistem rujukan dipermudah, kunjungan sudah mulai berkurang,” jelasnya.

Dukungan moril baik dari keluarga maupun sesama rekan kerja sangat penting. Ia selalu menekankan apa yang dilakukan saat ini merupakan panggilan jiwa dan amanah yang harus dijalankan.

“Ini jadi amanah bahwa profesi yang kita geluti ini saat ini memang sedang diuji, panggilan kita seperti apa. Tetap bersemangat dalam melayani masyarakat, Tuhan pasti melindungi apapun yang kita lakukan kalau kita ikhlas menjalankan panggilan ini,” ujarnya.

 

Rekomendasi