Ironi Lebaran Tahun Ini: Mudik Dilarang, THR Ditunda

| 08 May 2020 08:19
Ironi Lebaran Tahun Ini: Mudik Dilarang, THR Ditunda
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Lebaran tahun ini nampaknya menjadi berbeda akibat pandemi virus korona baru. Alih-alih bisa berkumpul bersama keluarga dan mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR), para pekerja di Tanah Air banyak yang harus gigit jari lantaran dampak ekonomi akibat COVID-19.

Setelah melarang mudik, pemerintah kembali mengeluarkan aturan yang isinya memberi kelonggaran bagi pengusaha untuk tidak membayar THR sebesar 100 persen atau dengan cara mencicil atau menunda pembayarannya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menolak dikeluarkannya surat edaran Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Nomor M/6/HI.00.01/v/2020 tentang mekanisme penundaan atau pencicilan pembayaran THR dengan cara mendorong perundingan buruh dan pengusaha di perusahaan.

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 dan PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, setiap pengusaha wajib membayar THR 100 persen bagi pekerja yang memiliki masa kerja di atas 1 tahun, tanpa terlebih dahulu melalui perundingan.

Bagi yang masa kerjanya di bawah satu tahun, maka upahnya dibayarkan proporsional sesuai masa kerjanya. 

Oleh karena itu, KSPI menolak keras surat edaran Menaker tentang THR tersebut karena bertentangan dengan PP No 78 Tahun 2015 tentang pengupahan, yang mengatur kewajiban pengusaha untuk membayar THR minimal sebesar satu bulan upah. 

"KSPI berpendapat, THR harus dibayar 100 persen bagi buruh yang masuk bekerja, buruh yang diliburkan sementara karena COVID-19, buruh yang dirumahkan karena COVID-19, maupun buruh yang di PHK dalam rentang waktu H-30 dari lebaran," tegas Said Iqbal, Kamis (7/5).

Oleh karenanya, KSPI menyerukan kepada para buruh untuk menolak pengusaha yang ingin membayar THR dengan menggunakan dasar surat edaran Menaker tersebut.

Said Iqbai menilai, di tengah pandemi korona ini, daya beli buruh harus tetap dijaga. Kalau THR dibayar di bawah 100 persen atau dibayar dengan cara mencucicil atau menunda pembayaran, atau bahkan tidak dibayar sama sekali, maka akan memukul daya beli buruh di saat Lebaran, sehingga konsumsi akan turun drastis yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi makin hancur. 

"Jadi isi dari surat edaran Menaker tersebut harus ditolak, dan pengusaha tetap diwajibkan membayar 100 persen. Tidak membuka ruang untuk dibayar dengan cara dicicil, ditunda, dan dibayar di bawah 100 persen," kata Said Iqbal. 

Terkecuali perusahaan dengan kategori perusahaan menengah kecil seperti hotel melati, restoran non waralaba internasional, UMK, ritel berskala menengah kebawah, dan lainnya. Sedangkan hotel berbintang, restoran besar atau waralaba internasional, ritel besar, industri manufaktur wajib membayar THR 100 persen dan tidak dicicil atau ditunda pembayarannya.

"Lebaran adalah waktu yang sangat penting dan penuh kebahagiaan yang dirayakan masyarakat Indonesia termasuk buruh. Jadi sungguh ironis jika THR dicicil atau ditunda, atau nilainya di bawah 100%." ucapnya.

Kelonggaran pembayaran THR secara dicicil atau ditunda itu tertuang dalam Surat Edaran Menaker Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi COVID-19. Surat itu ditujukan kepada para gubernur di seluruh Indonesia.

Dalam poin dua surat edaran tersebut, Menaker meminta gubernur memastikan adanya dialog antara pengusaha dan buruh jika pengusaha tidak bisa membayarkan THR secara penuh atau sama sekali. Menaker menyatakan proses dialog harus dilakukan secara kekeluargaan, dilandasi laporan keuangan internal perusahaan yang transparan, dan iktikad baik untuk mencapai kesepakatan.

Dalam surat edaran tersebut,  menyatakan perusahaan dapat membayarkan THR secara bertahap atau ditunda sampai waktu tertentu yang disepakati. Hasil kesepakatan itu harus dilaporkan ke Dinas Ketenagakerjaan setempat.

Menaker juga menyatakan kesepakatan itu tak menghapus kewajiban pengusaha untuk tetap membayar THR sebesar yang diatur dalam Undang-undang. Pembayaran juga harus dilakukan di tahun 2020 dan tetap ada pemberlakuan denda keterlambatan pembayaran berdasarkan hasil dialog. 

 

Rekomendasi