Banyak ahli epidemiologi yang menilai rencana pelonggaran PSBB ini belum tepat. Penilaian para epidemiolog ini tentu mengacu pada data. Seperti yang disampaikan dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, Henry Surendra, SKM, MPH, PhD.
Henry bilang, secara sederhana ada dua hal yang membuat pelonggaran PSBB tidak tepat. Pertama, dilihat dari kurva laporan kasus baru harian di Indonesia, sampai saat ini trennya masih fluktuatif dan bahkan cenderung meningkat. "Jadi belum aman untuk melonggarkan PSBB," kata Henry, Selasa (19/5) malam.
Kedua, lanjut Henry, perlu dilakukan evaluasi terhadap PSBB untuk menghasilkan tolok ukur yang akurat. Caranya, dengan mengukur penurunan angka reproduksi kasus yang disebut nilai R0.
Menurutnya, jika nilai R0-nya sudah turun sampai angka 1, artinya penularan sudah terkontrol sehingga pengendalian sudah bisa dipertimbangkan apakah dilonggarkan atau tidak. Sebaliknya jika nilai R0-nya masih lebih tinggi dari 1, maka jumlah penularan kasus baru COVID-19 berarti masih tinggi.
Di luar dua faktor tersebut, menurut Henry, sebenarnya masih ada banyak indikator keberhasilan pengendalian COVID-19, yaitu tren penurunan persentase kematian pada kasus COVID-19, penurunan pasien dalam pengawasan (PDP), penurunan orang dalam pemantauan (ODP) ataupun orang tanpa gejala (OTG).
Penurunan kasus didukung jumlah dan kecepatan tes molekuler atau PCR. Mengenai tes PCR ini, Henry bilang, idealnya hasil tes PCR bisa keluar dalam tiga hari apabila dikerjakan di laboratorium lokal.
Pelonggaran PSBB tanpa berbasis data ilmiah dikhawatirkan membuat upaya pengendalian COVID-19 selama ini malah tidak efektif dan bahkan hanya membuang-buang sumber daya. Banyaknya ahli epidemiologi ataupun pakar kesehatan yang mengkritik rencana pelonggaran PSBB semestinya menjadi masukan berharga bagi pemerintah sebagai pemegang kebijakan.
Henry setuju jika kebijakan pengendalian COVID-19 ini harus melibatkan peran ilmuwan atau akademisi. Menurutnya, sejauh ini peran ilmuwan atau akademisi memang sudah lumayan dilibatkan, bahkan Satgas Penanggulangan COVID-19 diperkuat tim pakar yang terdiri dari banyak ahli. "Persoalannya saat ini, apakah pendapat ideal mereka mau dipakai pemerintah atau tidak," kata Henry.
Namun, ia dan lembaganya senantiasa terlibat di berbagai forum yang bergerak mengkaji dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah. "Sebagian masukan kami diterima, sebagiannya lagi tidak," katanya.
Memang menerjemahkan hasil kajian ilmuwan untuk pengendalian COVID-19 dalam sebuah kebijakan memerlukan ongkos yang mahal. Tetapi ongkos ini akan sepadan dibandingkan dengan kebijakan tanpa didasari kajian ilmiah.
Pernyataan Henry diamini oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Dalam menetapkan dan mengkaji kebijakan penanganan COVID-19, Pemprov DKI memakai data dari ilmuwan sebagai referensi.
"Kami mengambil semua keputusan mengandalkan pada temuan-temuan ilmiah, bukan kira-kira, keliatannya kok suasana sudah enak. Tapi berdasarkan data seperti ini," ucap Anies di Balai Kota, DKI Jakarta, Selasa (19/5).