"Pemerintah bebaskan kewajiban-kewajiban PNBP. We are not running," kata Susi dalam diskusi daring dengan BNPB, Jumat (12/6/2020).
Pemilik Maskapai Susi Air ini lantas mencontohkan bisnis penerbangannya yang behenti beroperasi selama dua bulan belakangan, namun tetap harus membayar kewajiban PNBP. Misalnya seperti perpanjangan izin kerja, izin terbang pesawat, dan security clearance.
Susi Air masih harus membayar security clearance saat pesawatnya masuk bandara. Bahkan, hari ini Susi harus membayar Rp8 juta untuk security clearance untuk 24 orang. Padahal, saat ini Susi mengaku, bisnisnya sedang defisit karena berkurangnya okupansi bahkan setopnya penerbangan.
"Kita sulitnya tuh seperti tidak ada guideline. Semua seperti biasa. Semua sektor pembayaran cost pemerintah sampai hari ini tidak ada satu pun yang tidak bayar, padahal kita defisit," kata Susi.
"Saya tidak minta kompensasi, tapi at least kewajiban-kewajiban kita yang rutin dibebaskan," imbuhnya.
Susi mengaku siap mendukung pemerintah untuk menjalankan kembali roda perekonomian negara, tapi harus ada aturan yang jelas dan tidak membuat pengusaha menjadi tambah kebingungan.
Misalnya, dalam sektor transportasi udara, sempat diterapakan peraturan wajib menjalani PCR sebelum penumpang maupun awak pesawat terbang. Namun, menurutnya akan sulit diterapkan di daerah-daerah terpencil.
"Kemarin harus dengan PCR. Saya melihat itu tidak mungkin untuk di daerah itu PCR. Impossible for the people. Berarti orang juga tidak mungkin terbang. Dirut Garuda juga ngeluh karena harga PCR lebih mahal daripada harga tiket. Complicated inilah yang harus diurai satu persatu," paparnya.
Susi memprediksi, untuk bisnis penerbangan baru akan pulih 50 persen itu tahun depan. Tapi yang mejadi persoalan adalah bagaimana dengan tahun ini yang mana semua kewajiban harus tetap dibayarkan tanpa keringanan. Itulah, menurut Susi yang juga harus bisa dijawab oleh pemerintah.