Menurut Efendi, jangan sampai terjebak pada anggapan bahwa pelaku penyebaran hoaks adalah orang-orang kurang pendidikan. Sebab, fakta menunjukkan bahwa banyak dari penyebar hoaks justru datang dari kalangan berpendidikan.
"Jangan salah, biasanya kita temukan di berbagai kasus, mereka yang melek pendidikan, paham etika, tahu UU, tahu sanksi itu (yang menyebarkan). Hoaks ini akan terus, tapi sepanjang pemerintah dan negara mampu untuk melakukan pengawasan, maka di nol kan akan susah, tetapi terkurangi," tuturnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Senin (5/3/2018).
Efendi menilai, dalam memberantas hoaks, semua harus berbagi peran, tidak hanya bisa dilepaskan kepada penegak hukum atau pemerintah saja.
"Ini berbagi peran pemerintah yang punya otoritas harus bisa lakukan fungsinya dalam bentuk pengawasan, bila ada yang keluar jalur harus dikembalikan ke jalurnya. Bila memang tidak bisa dilakukan pendekatan secara baik, maka terpaksa harusnya ada preventif untuk mengurangi efek pemberitaan hoaks," ucapnya.
Efendi mengatakan, penyebaran hoaks atau berita bohong termasuk dalam kategori kriminal. Apalagi, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) telah jelas mengatur hal itu.
"Kita sudah atur di dalam UU ITE maupun UU lainnya, setiap pengguna media sosial baik online maupun offline ketika mereka dengan sengaja melakukan bentuk penyampaian dalam bentuk hoaks ada sanksi pidananya," tutur Efendi.
Menurut Efendi, sanksi bagi pelaku hoaks di Indonesia masih tergolong ringan ketimbang negara lain.
"Harusnya kita lebih berat memberikan sanksinya, karena kalau kejahatan hoaks yang dilakukan di media online itu cenderung susah untuk dihapuskan. Itu harus dilakukan penegasan dan penetapan punishment terhadap siapapun yang melakukan penyebaran berita-berita hoaks," terangnya.
Infografis (Rahmad Bagus/era.id)