Proses divestasi ini, merupakan implementasi dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Perubahan Keempat atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
"Arahan Bapak Presiden bahwa untuk penyelesaian divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia yang merupakan simbol kedaulatan negara kalau bisa itu sebelum akhir April sudah selesai, sudah evaluasi dan sebagainya," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dalam di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (5/3/2018) kemarin.
Jonan menjelaskan, dalam mekanisme divestasi tersebut, pemerintah nantinya akan membeli saham dari participating interest, Rio Tinto, sementara sisanya dibeli dari saham PT Freeport Mc Moran yang dikuasai PT Indocopper.
"Kita akan beli dengan harga sewajar mungkin, sampai saham kepemilikan pemerintah sesuai arahan presiden, 51 persen. Satu, kita akan mengambil alih participating interest Rio Tinto 40 persen yang akan dikonversi menjadi saham, dan sisanya akan diambil dari kepemilikan saham PT Freeport McMoran yang ada di PT Indocopper Investama," Jonan menjelaskan.
Ancaman arbitrase Freeport
Terkait ancaman Freeport membawa permasalahan ini ke arbitrase internasional, pemerintah tak gentar. Logika hukum yang dibangun Freeport untuk mendasari langkah mereka mengajukan arbitrase dianggap sudah salah sejak awal.
Sebab, bagaimanapun, tak mungkin sebuah badan usaha mensejajarkan diri mereka dengan sebuah negara berdaulat dengan jumlah penduduk jutaan orang.
Lagipula, siapa yang tahu kalau ternyata ancaman arbitrase ini cuma gertakan Freeport semata. Seperti yang pernah mereka lakukan pada tahun 2014, ketika bea keluar ekspor diberlakukan. Ujung-ujungnya, Freeport membatalkan gugatannya, toh?
Tapi, tetap saja. Pengajuan arbitrase adalah hak Freeport. Direktur Jenderal Mineral Dan Batubara, Bambang Gatot Ariyono pun mengakui, salah satu klausul kontrak Freeport, tepatnya pada Pasal 32, telah dituliskan bahwa perusahaan berhak mengajukan perpanjangan masa kontrak.
Namun, pemerintah Indonesia bersikukuh memandang hal tersebut sebagai persoalan lain. Sumber daya alam yang dikuasai Freeport saat ini, biar bagaimanapun adalah kedaulatan Indonesia sebagai bangsa merdeka.
“Di dalam kontrak dinyatakan, pemerintah tidak bisa menahan tanpa alasan yang kuat, jadi itu yang jadi perhatian juga. Sedangkan mengenai perhitungan bukunya, kita tidak dapat menghitung secara pasti bagian mana yang bisa diganti," tutur Bambang.
"Tetapi, yang jelas diatur di dalam kontrak, setiap barang-barang yang dimiliki perusahaan apabila ingin dipindah tangankan atau ingin dimiliki oleh siapapun atau sudah terminasi itu harus diganti atau dipindahkan dalam waktu tertentu,” tambahnya.
Sebelumnya, Freeport Indonesia telah menyepakati keputusan terkait divestasi saham sebesar 51 persen kepada pemerintah Indonesia. Keputusan ini menjadi pokok dari hasil perundingan dua belah pihak.
Perundingan yang makin intens sejak April 2017 lalu membahas empat poin utama, yaitu keberlangsungan operasi, divestasi saham, stabilitas investasi dan pembangunan smelter.
Pembahasan untuk keempat hal itu telah selesai dalam satu paket kesepakatan yang tidak terpisahkan. Hasil perundingan ini, sesuai dengan instruksi Jokowi, wajib mengedepankan kepentingan nasional, kepentingan rakyat papua, kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya alam dan untuk menjaga iklim investasi tetap kondusif.