Orang-orang berhamburan keluar gedung perkantoran menyelamatkan diri. Jakarta digoyang selama dua menit saat gempa terjadi.
Tak ada yang mengetahui pasti di mana titik gempa berasal dan semua saling bertanya, "tadi ngerasain gempa enggak?"
"Tring!" suara notifikasi pesan masuk Whatsapp dari ponsel Abdi Ryanda berbunyi beberapa saat setelah gempa. Abdi adalah karyawan swasta yang turut merasakan goyangan gempa selama dua menit.
Sebelum pesan Whatsapp itu masuk, dia memang sedang mencari tahu informasi gempa. Matanya terbelalak setelah membaca pesan itu.
Isinya diklaim sebagai sebuah video yang memperlihatkan dampak gempa barusan. Video tadi menggambarkan sebuah lambung kapal penuh muatan yang terombang-ambing di laut.
"Video itu tersebar di grup Whatsapp. Hampir di semua grup Whatsapp yang gue miliki. Banyak yang termakan dengan video hoaks itu," ujar Abdi saat menceritakan kembali dirinya saat termakan berita hoaks gempa Jakarta Januari lalu.
Sayangnya, video tersebut menyebar tidak hanya ke masyarakat biasa seperti Abdi saja. Video yang belum terkonfirmasi itu juga sempat tersiar di beberapa media arus utama. Ia pun jadi meyakini video tersebut sebagai kebenaran, karena hampir semua grup Whatsapp yang ia miliki menyebar hal yang sama.
Meski dia sempat mempercayai video itu selama beberapa saat, tapi Abdi tidak ikut menyebarkan berita bohong tersebut. Ia punya pikiran lain menanggapi video itu.
"Saat pertama kali lihat gue enggak mencerna dengan baik. Beberapa saat itu setelah itu gue mulai berpikir, ini orang kan juga terancam nyawanya kok bisa punya pikiran untuk merekam dulu sebelum menyelamatkan diri," lanjutnya.
Cerita di atas menjadi wujud berita bohong alias hoaks lebih mudah cepat tersebar dibanding berita positif. Untungnya video tersebut tidak menyebar lebih jauh dan menelan korban.
Kurang dari satu jam video tersebut terkonfirmasi bukan akibat gempa yang menimpa Banten Selasa (23/1) lalu. Melainkan video di laut Bali yang terdampak cuaca buruk di tahun 2017. Ini salah satu informasi yang disebut hoaks.
(Ilustrasi/era.id)
Dapur pemberantasan hoaks
Bunyi keyboard komputer bertemu jari tangan menjadi suara latar di ruangan Unit Cyber Crime Mabes Polri, Jalan Jatibaru, Jakarta Pusat.
24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, mereka mengawasi arus informasi yang tersebar di media arus utama maupun media sosial. Mereka sedang melakukan Patroli Siber untuk menangkal berita hoaks, hate speech dan SARA.
"Kita mengawasi kontennya, hashtag–nya dan semua hal yang bisa dilihat oleh masyarakat itu yang kita dalami," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat, Brigjen M. Iqbal saat dihubungi era.id, Rabu (7/3/2018).
Ada 100 juta lebih pengguna Facebook, dan 40 juta akun Instagram yang ada di Indonesia. Belum lagi, Twitter yang mencapai 50 juta pengguna dan 35,8 juta orang menggunakan Whatsapp di Indonesia. Semuanya harus terpantau.
Dengan angka seperti ini, tugas Patroli Siber bukan pekerjaan mudah. Belum lagi kesulitan membendung informasi yang disebar dari akun-akun bot.
"Kita akan bekerja sama dengan Biro Multimedia untuk patroli jika saat patroli ada pelanggaran unit Cyber Crime yang akan menindak," lanjutnya.
Ketika menemukan indikasi pelanggaran, polisi akan menelusuri unggahan akun terduga selama tiga bulan sebelumnya. Namun tidak semua pelanggaran bisa ditindak langsung.
Polisi bisa menindak sesegera mungkin pelanggaran SARA, hoaks dan hate speech. Sedangkan, pencemaran nama baik harus ada laporan dulu dari korban yang merasa tercemar.
Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dikenakan pidana penjara paling lama 4 dan/atau denda menjadi paling banyak Rp 750 juta.
Sedangkan ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
(Infografis/era.id)