Bahkan, di dalam negeri, upaya memberantas hoaks juga dilakukan oleh Ismail Fahmi, seorang pakar teknologi informasi (IT) jebolan Universitas Groningen, Belanda.
Sebagaimana dibahas dalam artikel Melihat Kecanggihan Sistem Pemberantas Hoaks, Ismail berhasil menciptakan sebuah sistem untuk memonitor dan menganalisa aktivitas media online dan media sosial berbasis teknologi big data yang ia beri nama Drone Emprit.
Tapi, apa yang dilakukan Drone Emprit, Facebook, Twitter dan Google belum cukup untuk menghentikan hoaks. Perlawanan terhadap hoaks nyatanya jauh lebih pribadi dari itu.
Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho mengatakan, literasi adalah hal paling penting untuk menghadapi masifnya sebaran hoaks.
Masuk akal. Sebab, sebagaimana dikatakan Aji, rendahnya budaya literasi adalah salah satu penyebab utama kenapa hoaks dapat menyebar dengan begitu masif dan relatif cepat.
Di Indonesia, budaya literasi masyarakat amat rendah. Berdasar hasil studi Most Littered Nation in The World yang dilakukan oleh Central Connecticut State University tahun 2016 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kemampuan literasi paling rendah di dunia. Dari 61 negara yang disertakan dalam studi itu, Indonesia menempati posisi 60.
Lalu, bagaimana literasi media membantu kita lawan hoaks?
Stanley Baran dan Dennis Davis, dalam bukunya, Teori Komunikasi Massa menjelaskan literasi media sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan seseorang dalam mengasah kepekaan terhadap paparan informasi media.
Dengan memahami konsep di atas, setiap orang akan sadar bahwa mencari sumber informasi pembanding harus dilakukan untuk memvalidasi kebenaran sebuah informasi.
Literasi media meningkatkan kemampuan seseorang mengontrol dampak dari paparan informasi. Dengan literasi media, setiap orang akan memiliki kuasa penuh atas informasi yang ia terima.
Ada banyak cara untuk memahami bagaimana literasi media bekerja melindungi kita. Jurnal berjudul Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkhebinnekaan dalam Menganalisis Informasi Palsu (Hoax) di Media Sosial, misalnya.
Jurnal yang ditulis Vibriza Juliswara itu menyebut, pada prinsipnya, setiap orang wajib sadar bahwa dirinya adalah informasi sekaligus penyebar informasi serta pengelola informasi itu sendiri.
Selain menanamkan prinsip itu, Vibriza juga memaparkan beberapa manfaat dari penerapan literasi media. Pertama, meningkatkan daya kritis. Dengan daya kritis, setiap orang mampu melakukan pemilahan informasi yang ia temui.
Yang kedua adalah meningkatkan kemampuan memverifikasi sebuah informasi. Meningkatnya kemampuan verifikasi akan mendorong setiap orang melakukan pengecekan validitas dari setiap informasi yang ia peroleh.
Ketiga, kemampuan menganalisis pesan dalam ranah diskursus. Sederhananya, setiap orang akan mampu menafsirkan setiap gagasan yang ingin disampaikan oleh si penyebar informasi dengan baik. Entah informasi itu berakhir sebagai pesan implisit atau eksplisit.
Lebih dari itu, kemampuan menganalisis pesan dalam ranah diskursus akan mendorong seseorang membangun logika penciptaan realitas dari si penyebar informasi, termasuk latar belakang politik, budaya hingga ideologi.
Terakhir, kemampuan paling penting adalah mempertajam pertimbangan kita untuk memilah, mana informasi yang layak dibagikan kepada orang lain, dan mana informasi yang mentah yang tak layak dibagi.
Pada akhirnya, benar apa yang dikatakan Aji, bahwa tersebar atau tidaknya sebuah hoaks ada di kedua jempol kita. Tombol mana yang mau kita tekan. Share atau delete?
Dan seperti Mafindo punya ungkapan, "budayakan saring sebelum sharing!"
Infografis (era.id)