Penuntasan Hasrat Kudeta The King Maker

| 11 Mar 2018 09:13
Penuntasan Hasrat Kudeta <i>The King Maker</i>
Ilustrasi (era.id)
Jakarta, era.id - "Bung Karno jelas membenci saya. Dia bilang, 'kalau ada yang berani dan bisa membunuh saya, itu hanya Kemal.' Setelah itu, saya satu minggu lamanya diperiksa oleh Kejaksaan Agung," ungkap Kemal Idris, dikutip dari Arsip Wawancara Ohio University.

Tanggal 17 Oktober 1952, empat meriam dipasang dalam posisi menembak. Moncongnya menghadap tepat ke arah Istana Negara, Jakarta, tempat di mana Soekarno berada. Meriam itu bisa saja betul-betul meletus, andai perintah menembak diberikan oleh Kemal.

Kemal sejatinya sempat ragu menempatkan semua meriam itu di sana. Tapi, apa boleh buat. Kemal hanya Pangkostrad kala itu. Dan perintah dari KASAD, A.H. Nasution, jelas bukan perintah yang bisa ia bantah.

Belakangan, dalih yang mencuat dari peristiwa itu adalah bahwa seluruh meriam ditujukan untuk menghadang aksi demonstrasi mahasiswa. Atau, jika kamu lebih menyukai teori konspirasi, kamu boleh saja berpegang pada banyaknya literatur yang menyebut 'peristiwa empat meriam' itu sebagai sebuah 'percobaan setengah kudeta'.

Di dalam hati Kemal, mungkin ia menyimpan kemurkaan yang betul-betul besar pada Bung Karno, yang dianggapnya telah membawa Indonesia pada kesengsaraan yang begitu berat.

Dan di dalam Istana Negara, Bung Karno pun jelas tersinggung. Baginya, yang dilakukan Kemal adalah sebuah pembangkangan. Bung Karno jelas tak tunduk. Sebab tunduk sama dengan mengakui kekalahan dari anak buahnya sendiri.

Peristiwa itu pun jadi titik yang menyeret hubungan Kemal dan Bung Karno pada titik nadir. 

Berlanjutnya hasrat kudeta The King Maker

Lebih dari sepuluh tahun setelah peristiwa empat meriam di Istana Negara, Kemal masih menyimpan kemarahan terhadap Bung Karno. Bagi Kemal, melengserkan Bung Karno adalah sebuah keharusan.

Dan terbitnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) jadi momentumnya. Kemal tahu betul cara memanfaatkan momen tersebut. Jalan frontal pun ia pilih. Seperti yang ia lakukan beberapa tahun sebelumnya, Kemal kembali mengepung Istana Negara, melanjutkan hasrat kudeta yang sempat tertunda.

Jika pada peristiwa sebelumnya Kemal membawa meriam, kali ini Kemal membawa Resimen Para Komando Angkatan Darat (RKPAD) --yang kala itu datang tanpa seragam-- yang sukses membuat para menteri yang tengah menggelar rapat kabinet bersama Bung Karno ketar-ketir.

Kali ini Kemal lebih yakin. Tanpa keraguan sebagaimana pernah ia rasakan belasan tahun sebelumnya. Sebab, perintah kali ini turun langsung dari Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad), Soeharto yang saat itu telah terlibat perang dingin dengan Bung Karno.

FX Bagaskara, dalam bukunya yang berjudul Membongkar Supersemar menutur, saat pengepungan dilakukan, Soeharto jadi satu-satunya menteri yang tak hadir.

Dalam buku itu, dijelaskan juga bagaimana Kemal menginstruksikan Kolonel Sarwo Edhie untuk mengerahkan 80 personel untuk menyerang beberapa menteri yang dianggap 'kiri', termasuk Soebandrio.

Bung Karno panik, perintah memimpin rapat pun langsung dimandatkan kepada Wakil Perdana Menteri, Leimena. Bung Karno sadar betul, keadaan makin tak aman baginya. Maka ia langsung menaiki helikopter yang membawanya menuju Istana Bogor.

Letjen (Purn) Kemal Idris adalah salah satu King Maker --julukan yang diberikan untuk tiga serangkai pencetus orde baru, bersama Letjen (Purn) Sarwo Edhie Wibowo dan Letjen (Purn) HR Darsono.

Sebagai salah satu King Maker, Kemal mempunyai tugas jelas, yakni membantai semua PKI, merangkul mahasiswa di dalam kuasa legislatif, serta melegitimasi kekuasaan orde baru lewat fusi partai.

Infografis (Rahmad Bagus/era.id)

Konsep orde baru Kemal Idris

Cuplikan sejarah di atas adalah salah satu peran Kemal dalam upayanya menekan Bung Karno untuk segera turun dan menyerahkan kekuasaan penuh terhadap militer.

Bagi Kemal, ia memaknai terbitnya Supersemar sebagai transfer of authority, bukan sekadar executive order. Baginya, adalah kesalahan besar apabila saat itu Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada Bung Karno.

Segala unek-uneknya perihal masalah itu telah Kemal ungkapkan dalam wawancara bersama Ohio University, Amerika Serikat. Kemal berkata, "Kok kamu masih tanya kenapa harus dikembalikan (mandat kepemimpinan)? Kan dia (Soeharto) ditunjuk menjadi presiden sementara. Dari presiden sementara kan satu langkah menuju presiden penuh."

Sehari setelah terbitnya Supersemar, 12 Maret 1966, Soeharto langsung membubarkan PKI. Tepat satu tahun setelahnya, Soeharto dilantik menjadi pejabat presiden oleh DPR-GR/MPRS. 27 Maret 1968, Soeharto dilantik sebagai presiden --secara definitif-- dalam sidang umum MPRS.

Rajutan hasrat kudeta Kemal pun terwujud. Meski kekuasaan itu bukan miliknya. Setidaknya Kemal sukses menuntaskan tugasnya sebagai The King Maker.

Rekomendasi