"Secara moril memang Demokrat bertanggung jawab karena proyek ini justru bermasalah dan menyeret banyak orang, meski secara hukum belum tentu terlibat,” kata pengamat politik dari Universitas Mercu Buana, Maksimus Ramses Lalongkoe, saat dihubungi era.id, Selasa (27/3/2018).
Seharusnya Partai Demokrat berani menjelaskan kepada publik, proyek e-KTP tidak berjalan baik. Apalagi sudah cukup banyak pihak yang menjadi tersangka hingga terpidana.
"Mereka harus legawa mengatakan bahwa proyek yang ada di zaman Pak SBY dianggap gagal. Pada saat itu mereka tidak mengawal proyek itu dengan baik. Justru proyek itu berakhir dengan masalah,” ujar Maksimus.
Maksimus menambahkan, bila nantinya KPK menemukan dugaan ada kader Partai Demokrat terlibat dalam kasus dengan nilai kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun itu, maka partai ini harus membuka pintu penyelidikan pada KPK.
Baca Juga : Novanto Bantah Rekayasa Nama SBY
Selain itu, kata Maksimus, publik juga dinilai punya tanggung jawab mendorong KPK membuka seluas-luasnya kasus e-KTP. Hal itu guna menghindari KPK dari kepentingan politik.
"Publik harus mendorong KPK agar terus membongkar kasus ini, sebab bisa saja ada kader Demokrat yang terlibat kala itu,” kata dia.
Baca Juga : PDIP Pahami Suasana Batin Novanto
Dalam kasus e-KTP sejumlah nama diduga menerima uang aliran dari proyek yang bernilai sebesar Rp5,9 triliun. Dalam surat dakwaan Andi Agustinus alias Andi Narogong, sejumlah nama disebut menerima aliran uang korupsi e-KTP. Di antaranya politikus Partai Demokrat Marzuki Alie yang disebut menerima Rp20 miliar, dan Anas Urbaningrum Rp20 miliar.
Lalu berdasarkan surat dakwaan Irman dan Sugiharto, dan kembali disebut di surat dakwaan Setya Novanto, mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat Jafar Hafsah juga menerima 100 ribu dolar AS dari proyek e-KTP.
Infografis (era.id)