Mengenal Esther Gayatri Saleh, Perempuan Kepala Pilot Uji Satu-satunya di Dunia

| 09 Apr 2021 16:52
Mengenal Esther Gayatri Saleh, Perempuan Kepala Pilot Uji Satu-satunya di Dunia
Esther Gayatri (dok. Humas Bandung)

ERA.id - Tak hanya melambung di Indonesia, dunia internasional pun mengakui keunggulan perempuan Bandung ini. Kiprahnya di dunia industri penerbangan tak ada bandingannya.

Capt Esther Gayatri Saleh (55) merupakan perempuan satu-satunya di dunia yang menjadi kepala pilot uji.

Karir sebagai pilot uji --merupakan seorang penerbang yang menerbangkan pesawat yang masih dalam tahap pengembangan riset. Mereka bertaruh nyawa untuk memastikan pesawat tersebut dapat terbang dan bermanuver dengan baik, sesuai spesifikasi operasional-- dimulai Esther sejak tahun 1984 ketika perempuan kelahiran Palembang ini diterima oleh Industri Pesawat Terbang Nusantara/IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia (Persero)). Dia sudah menguji pesawat dari mulai NC212-200, CN235, pesawat master piece PTDI N250, CN295, hingga yang terakhir N219.

“Sejak lulus dari Amerika (Sawyer School of Aviation) saya meniti karir dari bawah. Mengerti, mempelajari, mengalami proses pengembangan pesawat yang diuji. Saya menguji hampir semua pesawat bersayap buatan PTDI,” terang Esther dalams keterangan tertulis dari Humas Kota Bandung, Jumat (9/4/2021).

Pengalaman Panjang dan loyalitas Esther di dunia pilot uji pantas diacungi jempol. Tidak berlebihan jika perempuan lulusan International Test Pilot School, Kanada, ini menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.

Risiko tinggi dalam pekerjaannya tidak membuat Esther beralih profesi atau sekadar pindah ke maskapai penerbangan yang risikonya tidak setinggi pilot uji. Tidak salah kalau PTDI mengangkatnya sebagai Chief Test Pilot & Flight Instructor pada April 2015 lalu. Setelah itu, dia merupakan satu-satunya perempuan pilot uji di industri pesawat udara di dunia yang menjadi chief (kepala) pilot uji pesawat sayap tetap.

“Suatu kehormatan untuk bisa bersama-sama teman yang lain mengambil bagian melayani negeri ini dalam bidang teknologi dirgantara, dalam hal ini pembuatan pesawat terbang. Nah ini proses yang mengintegrasikan satu produk baru bahwa membuat pesawat terbang tidak mudah. Industri berteknologi tinggi,” katanya.

Esther Gayatri (dok. Humas Bandung)

Menurutnya, menjalani profesi yang notabene identik dengan laki-laki tersebut sangat membanggakan, selain dituntut memiliki kemampuan berbagai macam pesawat terbang, menjadi pilot uji pun membuatnya terlibat langsung dalam pengembangan riset pesawat.

Dari mulai proses awal first flight, improvisasi hingga sesuai dengan spesifikasi operasional.

“Sebagai pilot uji, saya merasakan langsung perubahan demi perubahan dalam pengembangan pesawat. Prosesnya tidak selesai dalam satu kali uji, misalkan setelah first flight langsung jadi. Semua proses ada evolusinya. Sama seperti pengembangan prototype N219, ada evolusi dari pembuatan awalnya setelah melakukan serangkaian tes, di-improve. Itu namanya berevolusi, nah itu sah-sah saja dalam dunia manufacturing pesawat, karena itulah gunanya uji coba. Kita coba, apakah benar dan sesuai dengan prediksi awal atau ditambah improvement yang lain,” beber pemegang 7.100 jam terbang tersebut.

Esther pun bercerita tentang pengalaman menariknya selama menjadi seorang pilot uji yang tidak lain adalah ketika berhasil menerbangkan pesawat N219 untuk pertama kalinya (first flight) pada 16 Agustus 2017 lalu. Dia mengaku bangga bisa mengudarakan pertama kali pesawat yang murni karya anak bangsa dan menjadi bukti kemajuan Indonesia.

“Menghadapi penerbangan perdana waktu itu, memang sudah diantisiapasi adalah banyak tekanan kepada pilot in command sebagai pilot uji itu sendiri. Jadi gak bisa saya bayangkan adanya beban yang luar biasa. Karena terbang perdana itu, pesawat yang baru dibuat dan dan diuji coba, ini bisa terbang atau enggak. Tekanan itu serasa datang dari atas, dari bawah, dari sisi kiri-kanan,” kenangnya.

Setelah dilakukan terbang perdana selama 25 menit terbang, Esther mengudarakan pesawat di ketinggian 8000 kaki di sekitar kawasan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat. Selama itu pula dia mencoba bermanuver dengan turun ke ketinggian yang lebih rendah.

“Waktu itu kami melakukan beberapa manuver untuk membiasakan dengan pesawat tersebut. Mencoba simulasi landing. Kita turun ke ketinggian 7.000 naik lagi 7.500. Dan sesuai prediksi landing dengan selamat. This is good aircraft. Karena ini buatan Indonesia, kita patut berbangga,” ucapnya.

Khusus terkait pesawat N219, Esther sangat berharap setelah selesai menjalani serangkaian uji coba dan memperoleh sertifikasi dapat menjadi kebanggaan bersama bangsa Indonesia dan Bandung pada khususnya. “Kita bisa bicara N219 made in Indonesia. Tapi karena PTDI ada di Bandung bisa dipastikan N219 made in Bandung-Indonesia,” ungkapnya.

Rekomendasi