Tak berselang lama, KPK lantas menetapkan 38 orang dari DPRD Sumatera Utara atas kasus suap dari mantan Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho. Penetapan para tersangka ini sebenarnya merupakan pengembangan yang dilakukan oleh lembaga antirasuah ini. Sebelumnya, KPK memproses 12 unsur pimpinan dan anggota DPRD periode 2004-2009 dan atau 2009-2014.
Melihat situasi ini, tentu dibutuhkan terobosan agar tidak terjadi kembali korupsi massal yang dilakukan oleh anggota legislatif. Apalagi menjelang pemilihan calon legislatif (caleg) 2019 nanti.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun menyadari hal tersebut. Mereka, saat ini, tengah membahas Peraturan KPU (PKPU) terkait pencalonan legislatif agar para narapidana korupsi tidak ikutan lagi dalam pemilihan caleg nanti. Meski dalam Undang-undang tak disebutkan mantan napi koruptor tak boleh jadi caleg. KPU beranggapan aturan yang sedang digodok itu diperlukan untuk menghasilkan pemimpin dan wakil pemimpin rakyat yang bersih.
KPK dukung PKPU larangan bekas koruptor nyaleg
KPK juga menyambut baik usulan PKPU itu. Melalui juru bicaranya, Febri Diansyah, KPK menyatakan, wakil rakyat, baik di eksekutif atau legislatif, harusnya diisi oleh orang yang benar-benar bersih dari korupsi.
“Jadi ketika ada terpidana kasus korupsi yang jadi kepala daerah ataupun ingin menjadi calon legislatif, secara prinsip kami sependapat dengan KPU bahwa itu perlu diatur lebih lanjut dan dibatasi,” kata Febri di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, (4/4/2018).
Tapi tentunya, hal itu harus dibicarakan lebih lanjut oleh KPU. KPK siap bila KPU datang ke KPK atau sebaliknya, untuk melakukan komunikasi terkait PKPU tersebut.
Meski begitu, seakan mencegah koruptor untuk kembali berkuasa, lembaga antirasuah ini mulai membiasakan menuntut hukuman pencabutan hak politik bagi terdakwa tindak pidana korupsi. Meski keputusan akhir juga ditentukan Majelis Hakim di pengadilan.
“Menurut pandangan kami, ketika seseorang yang dipercaya oleh publik melalui proses pemilihan apakah kepala daerah ataupun anggota legislatif maupun anggota DPR, DPRD atau posisi politik lainnya dan kemudian mereka mengkhianati kepercayaan itu dan melakukan korupsi, maka seharusnya hak politik mereka bisa dicabut,” kata Febri.
DPR belum sepakat
Sementara itu, DPR menilai wacana KPU ini bertentangan Undang-Undang No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dasarnya adalah Pasal 240 UU tentang Pemilu yang menyebutkan seorang mantan narapidana yang dipidana lima tahun penjara tetap bisa mendaftar sebagai calon legislatif selama dia mengumumkan statusnya sebagai mantan terpidana.
Bahkan, Ketua DPR Bambang Soesatyo menilai rencana KPU melarang mantan narapidana maju dalam pemilihan legislatif merupakan hal yang berlebihan. Menurut Bambang, hak memilih dan dipilih harusnya diserahkan pada keputusan masyarakat.
"(Narapidana ikut pemilihan legislatif) boleh saja. Hantu juga boleh mencalonkan diri. Pilihan ada di masyarakat. Biarkan saja masyarakat memilih. Masyarakat jangan memilih orang yang berpotensi bermasalah," ujar Bambang di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (4/4/2018).
Baca Juga : Tak Perlu Berlebihan Membatasi Hak Politik Seseorang
Bambang menambahkan, kewajiban mencabut hak politik seseorang ada di tangan hakim dan bukan ada di KPU.
"Tidak perlu berlebihan membatasi. Toh hakim juga memutuskan hak politiknya, sudah ada batasan, itu ada di pengadilan," lanjut Bambang.
Baca Juga : KPK Umumkan Status Tersangka 38 Anggota DPRD Sumut
Sebagai informasi, sebelum menetapkan 38 orang anggota DPRD Sumut sebagai tersangka, KPK telah lebih dulu menetapkan bekas Gubernur Sumut Gatot Pudjo Nugroho menjadi tersangka dalam beberapa kasus korupsi yang ditangani KPK. Semasa jabatannya Gatot terjerat kasus suap hakim PTUN Medan serta suap anggota untuk DPRD periode 2009-2014 dan 2014-2019.
Dia juga menjadi tersangka penyuapan mantan Sekjen Partai Nasdem Rio Patrice Capella. Selain itu, Gatot juga terjerat korupsi dana hibah dan bansos Sumatera Utara tahun 2012 yang ditangani Kejaksaan Agung.
Pengadilan Tipikor Jakarta telah memvonis Gatot tiga tahun penjara untuk kasus suap hakim PTUN Medan selama tiga tahun penjara. Sedangkan untuk korupsi dana bansos, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan menghukumnya enam tahun penjara.
(Ilustrasi rekor anggota DPRD yang korupsi di Sumut, Bogor dan Papua/era.id)
Adapun 38 orang tersangka itu adalah Rijal Sirait, Rinawati Sianturi, Rooslynda Marpaung, Fadly Nurzal, Abu Bokar Tambak, Enda Mora Lubis, M. Yusuf Siregar, Muhammad Faisal, DTM Abul Hasan Maturidi, Biller Pasaribu, Richard Eddy Marsaut Lingga, Syafrida Fitrie, Rahmianna Delima Pulungan, Arifin Nainggolan, Mustofawiyah, Sopar Siburian, Analisman Zalukhu, Tonnies Sianturi, Tohonan Silalahi, Murni Elieser Verawati Munthe, Dermawan Sembiring, dan Arlene Manurung.
Selain itu, ada juga nama Syahrial Harahap, Restu Kurniawan Sarumaha, Washington Pane, John Hugo Silalahi, Ferry Suando Tanuray Kaban, Tunggul Siagian, Fahru Rozi, Taufan Agung Ginting, Tiaisah Ritonga, Helmiati, Muslim Simbolon, Sonny Firdaus, Pasiruddin Daulay, Elezaro Duha, Musdalifah, dan Tahan Manahan Panggabean.
Bahkan KPK menyebut bahwa korupsi yang menjerat 38 anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 adalah bentuk penyalahgunaan fungsi dan wewenang legislatif.
"Kasus ini kembali menunjukkan bagaimana korupsi dilakukan secara massal dengan memanfaatkan pelaksanaan fungsi dan kewenangan legislatif sebagai pintu yang membuka peluang terjadinya kongkalikong antara eksekutif dan legislatif untuk mengamankan kepentingan masing-masing ataupun mengambil manfaat untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya," kata Ketua KPK Agus Rahardjo saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (3/4).