Saat PKS-Gerindra Tak Selamanya Bersenyawa

| 26 Apr 2018 08:34
Saat PKS-Gerindra Tak Selamanya Bersenyawa
Ilustrasi (Hilda/era.id)
Jakarta, era.id - Kemesraan Gerindra dan PKS telah lama terjalin, persisnya kedua partai itu sudah mulai erat bergandengan tangan sejak Pilpres 2014. Singkat cerita, kecocokan Gerindra dan PKS terus mengalir hingga jelang Pilpres 2019

Bahkan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyebutkan kalau proses kaderisasi politik di PKS adalah contoh kaderisasi terbaik partai politik di Indonesia. Sebagai contoh pada saat Pilkada DKI 2017, di mana Prabowo menyatakan PKS adalah sekutunya dalam sebuah laga politik.

Prabowo juga memuji PKS setinggi langit terkait pencapaian yang dilakukan partai berlambang bulan sabit dan padi tersebut.

"PKS ini kalau menyelenggarakan kegiatan luar biasa. Gerindra sering contek dari PKS. Nyontek boleh dong? Nyontek dalam hal kebaikan," ujar Prabowo saat menjadi juru kampanye Anies-Sandi di Stadion Sumantri Brojonegoro, Pada 29 Januari 2017.

Gayung bersambut, PKS yang menjadi rekan kerja juga kerap melontarkan pujian yang sama untuk Partai Gerindra. Bagi Presiden PKS, Sohibul Iman, kebersamaannya dengan Partai Gerindra bukanlah sekadar koalisi di Pilkada DKI. Namun akan tetap berlanjut hingga Pemilu 2019.

Pada Pilpres 2014, kedua partai itu solid berkoalisi. Kendati kader PKS gagal mendampingi Prabowo, tapi PKS tetap konsisten mendukung duet Prabowo-Hatta hingga pilpres selesai.

Walau kalah, kemesraan tersebut terus berlanjut di parlemen. Di bawah panji Koalisi Merah Putih (KMP), Partai Gerindra-PKS bersama Partai Golkar, PPP, dan PAN berhasil memenangkan paket kursi pimpinan DPR/MPR.

Akan tetapi manuver pemerintah untuk membangun kekuatan yang solid membuat kesetiaan partai anggota KMP satu demi satu rontok. Partai Golkar pergi terlebih dahulu, kemudian menyusul PPP, dan PAN.

Baca Juga : Gerindra-PKS Segera Bahas Cawapres

Ilustrasi (Hilda/era.id)

Kepergian tiga partai tersebut dipastikan setelah kader-kader yang mereka terpilih masuk pada kabinet kerja Jokowi. KMP mulai goyang, lambat laun Prabowo mulai ditinggalkan partai-partai yang dahulu berjuang bersama bagi dirinya. Hanya PKS, yang tetap setia berjalan di jalur oposisi bersama Partai Gerindra.

Pada Pilkada DKI Jakarta 2017, kebersamaan Partai Gerindra dan PKS berlanjut. Di panggung ini duet keduanya menghasilkan dinamika politik nan ciamik yang hadir menjadi langkah baru bagi Partai Gerindra dan PKS.

Baca Juga : Gerindra Pede Prabowo Didukung PKS-PAN

Meski PKS harus mengalah karena Ketua DPP PKS Mardani Ali yang seharusnya diajukan sebagai cawagub DKI Jakarta digantikan Sandiaga Uno. Sebab pada menit-menit akhir pencalonan, Partai Gerindra resmi mengusung Anies Baswedan cagub.

Namun tak seperti kekalahan penuh drama di 2014, kali ini, Partai Gerindra-PKS berjaya. Anies-Sandi berhasil menyingkirkan pasangan Ahok-Djarot dengan mengumpulkan 57 persen suara rakyat Jakarta. Anies-Sandi pun melenggang ke Balai Kota.

Bersatu di daerah

Pada Pilkada 2018, PKS dan Partai Gerindra kembali membangun koalisi solid di daerah. Bersama PAN, koalisi tersebut mendukung calon gubernur-wakil gubernur di enam provinsi. 

Dukungan tersebut diberikan kepada Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah di Sumatera Utara, Sudrajat-Ahmad Syakhu di Jawa Barat, Sudirman Said-Ida Fauziyah di Jawa Tengah, Isran Noor-Hadi Mulyadi di Kalimantan Timur, Asrun-Hugua di Sulawesi Tengah, dan Muhammad Kasuba- A.Madjid Husen di Maluku Utara.

Pada Pilkada Sumatera Utara, walau kedua pasangan calon sebelumnya tidak terafiliasi dengan partai, Edy dan Ijeck pernah mengenakan jas PKS. Bahkan dalam acara pengukuhan cagub-cawagub Sumatera Utara yang diselenggarakan PKS, Eddy menyatakan bahwa dirinya telah menjadi kader PKS.

"Ya insyallah ini kan udah jadi kader PKS, udah pakai jaket ini," ujar Eddy sambil menunjuk lambang PKS di jaketnya.

Pada Pilkada Jawa Barat, Partai Gerindra dan PKS akhirnya bisa mengirimkan masing-masing kadernya untuk menempati posisi cagub-cawagub, Sudrajat sebagai cagub adalah kader Partai Gerindra, sedangkan Ahmad Syaikhu adalah kader sekaligus DPW PKS Jawa Barat.

Untuk Pilkada Jawa Tengah, kali ini PKS gagal mengirimkan calonnya setelah Partai Gerindra lebih memilih kader PKB, Ida Fauziyah sebagai pendamping Sudirman Said.

Sedangkan pada Pilkada Kaltim, PKS berkesempatan untuk memasukkan kadernya, Hadi Mulyadi. Hadi akan mendampingi mantan Bupati Kutai Timur, Isran Noor.

Di Maluku Utara, PKS mengirimkan kadernya, Muhammad Kasuba sebagai calon gubernur dan didampingi kader PAN, Madjid Husein. Sedangkan pada pilgub Sulawesi Tenggara, Partai Gerindra dan PKS mendukung calon yang sama sekali bukan kader dari kedua partai. 

Bicara pilpres

Jika pada beberapa perhelatan politik sebelumnya PKS acapkali mengalah, pada Pilpres 2019, mereka menunjukkan garis yang lebih tegas. PKS seolah ingin mengatakan bahwa mereka tak ingin lagi kadernya disia-siakan. 

Presiden PKS, Sohibul Imam bahkan memberi syarat kepada Prabowo dan Partai Gerindra apabila ingin berkoalisi, maka Partai Gerindra harus menyediakan kursi cawapres untuk PKS. 

"Kami siap berkoalisi dengan Pak Prabowo asal cawapresnya diambil dari kami," kata Sohibul di Balai Kota, Gambir, Jakarta Pusat, Minggu (15/4/2018) 

Baca Juga: PKS Kasih Syarat Gerindra Kalau Mau Koalisi

Di internal PKS telah digodok sembilan nama bakal capres atau cawapres pada Pemilu 2019. Sembilan nama itu adalah Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid, mantan Presiden PKS Anis Matta, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, Presiden PKS Sohibul Iman, Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al'Jufrie, Mantan Presiden PKS Tifatul Sembiring, Ketua DPP PKS Al Muzammil Yusuf, dan Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera.

Dinamika politik yang sangat dinamis membuat Partai Gerindra kewalahan menentukan cawapres yang cocok untuk Prabowo. Bagaimana tidak, dari hari ke hari, elektabilitas Prabowo tidak menunjukkan peningkatan signifikan.

Hasil survei yang dilakukan Median pada 24 Maret hingga 6 April 2018 menunjukkan elektabilitas Prabowo cenderung turun. Prabowo hanya mendapatkan elektabilitas sebesar 20,4 persen. Meskipun masih berada di urutan kedua, tetapi Prabowo tertinggal jauh dibanding rival utamanya, Presiden Jokowi dengan elektabilitas 36,2 persen. 

Beban Prabowo akan lebih berat saat menetapkan cawapresnya 'harus' berasal dari sembilan nama yang diajukan oleh PKS. Survei Median sendiri menyatakan bahwa sembilan nama tersebut memiliki elektabilitas yang terbilang sangat kecil.

Bahkan di antara sembilan nama tersebut, hanya dua nama yang naik di permukaan dan terdata Median. Kedua nama tersebut adalah Anis Matta dengan elektabilitas 1,5 persen dan Ahmad Heryawan 0,6 persen.

Ini akan menjadi perhitungan politik yang sangat berat, di satu sisi, bila Prabowo memaksakan mengambil cawapres yang diajukan PKS, elektabilitas pasangan ini boleh jadi tidak terangkat dan dapat dengan mudah dilindas Jokowi dan cawapresnya.

Tetapi, jika Prabowo tidak mengambil cawapres dari PKS, ada kemungkinan PKS menolak berkoalisi dengan Partai Gerindra. Sebab Partai Gerindra perlu sokongan kursi dari PKS untuk mengajukan paket capres-cawapres. Tanpa kursi PKS, Partai Gerindra harus memutar otak meyakinkan parpol lain non-koalisi Jokowi untuk bergabung dengan porosnya.