Masih Ada Harapan Berantas Radikalisme

| 11 May 2018 16:11
Masih Ada Harapan Berantas Radikalisme
Narapidana terorisme di Mako Brimob (Foto: Leo/era.id)
Jakarta, era.id - Persoalan radikalisme kembali jadi sorotan, usai kerusuhan yang dilakukan kelompok narapidana terorisme di Rutan Cabang Salemba di Kompleks Mako Brimob, Kelapa Dua, Selasa malam (8/5).

Menurut hasil survei yang dilakukan The Wahid Institute, angka radikalisme di Indonesia masih tergolong tinggi. Survei ini menunjukkan, 0,4 persen responden menyatakan pernah melakukan tindakan radikal atas nama agama.

Baca Juga : Bagaimana Cara Polisi Lumpuhkan Napi Teroris?

Tindakan radikal yang dimaksud dalam survei itu, terjadi dalam berbagai bentuk dan tingkatan, mulai dari memberi sumbangan dan bergabung dengan organisasi radikal hingga tindakan yang lebih gila seperti menyerang tempat-tempat ibadah.

"Tapi, mayoritas dari jumlah itu bukanlah pelakunya, melainkan mereka adalah penyumbang ke organisasi radikal," kata Direktur The Waid Institute, Yenny Wahid dalam keterangan tertulis yang kami kutip dari Antara, Jumat (11/5/2018).

Merujuk survei tersebut, faktanya, para pelajar berusia 15-17 tahun yang tergabung dalam kegiatan Kerohanian Islam (Rohis) menyatakan siap bertindak radikal. Sebanyak 30 persen dari mereka bahkan berpendapat bahwa serangan bom Thamrin beberapa tahun lalu merupakan perbuatan jihad. Dalam survei itu, para pelajar juga menyatakan bersedia berangkat jihad ke Palestina, Suriah, atau pun Poso.

"Sebanyak 68,33 persen bersedia berangkat bila telah lulus diajak berjihad ke Palestina, Suriah, dan Poso," kata Yenny.

Infografis Kerusuhan Mako Brimob dalam Angka (era.id)

Optimisme lawan radikalisme

Meski begitu, harapan untuk menghabiskan radikalisme dari Bumi Pertiwi sejatinya masih ada. Sebab, survei itu juga menunjukkan, pengamalan nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat saat ini mulai membumi. Nilai-nilai Pancasila, kata Yenny adalah harapan untuk melawan paham-paham radikal dan intoleransi.

Dalam keterangan tertulisnya, Yenny mengajak masyarakat untuk memahami betul apa yang dimaksud dengan radikalisme dan intoleransi. Sebab, menurut Yenny, keduanya memiliki definisi yang berbeda. "Radikalisme merupakan tindakan fisik, sedangkan intoleransi tak perlu menggunakan tindakan fisik," katanya.

Baca Juga : Mengenal Aman Abdurrahman yang Ingin Ditemui Napi Teroris

Terkait nilai Pancasila sebagai senjata melawan tindakan radikal dan intoleransi ini, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pernah mengingatkan hal ini.

Dalam Dialog Nasional Aplikasi Kehidupan Berbhineka 'Kita Adalah Satu, Kita Indonesia, Kita Pancasila', Lukman mengatakan, sikap toleran merupakan kunci mewujudkan persatuan.

"Sebelum kita melakukan sesuatu, tanya pada diri kita, apakah orang lain akan tersinggung atau tidak? Apakah orang lain akan merasakan sakit atau tidak?," kata Lukman saat itu.

Rekomendasi