OGT (inisial), seorang pilot Garuda Indonesia ramai diperbincangkan setelah berkomentar tentang serangan bom Surabaya dalam akun media sosialnya. Dalam posting-an itu, OGT menyebut peristiwa bom Surabaya sebagai rekayasa pemerintah.
"Terkuak sudah kebenarannya, media asing lebih jujur daripada media lokal sendiri. Pelaku "bom bunuh diri" ternyata tidak pernah ke Syuria, dan tiga pelaku ini dijebak diminta mengantarkan paket ke 3 gereja di Surabaya. Supaya lebih cepat sampai ke lokasi karena akan dipakai oleh para jemaat gereja yang akan beribadah di hari Minggu itu...," begitu kata OGT.
Berbagai komentar menghiasi postingan OGT. Sebagian mengkritik postingan OGT. Mereka meminta OGT lebih bijaksana, enggak asal melempar fitnah.
Namun, sebagian netizen lain bahkan berpikir ke arah yang lebih mengerikan. Mereka menganggap OGT telah terpengaruh paham radikal. Menurut mereka, hal tersebut amat berbahaya, mengingat profesi OGT sebagai pilot yang setiap harinya mengemudikan pesawat dengan ratusan penumpang di dalamnya.
Akun @Eben83Eben misalnya, yang menulis "INI HARUS MENJADI PERHATIAN... HARUS DIPECAT... JANGAN SAMPAI DIA NYANYI 'DUDUDUDU' DI ATAS SANA, TERUS DUARRRR... INGAT 100 LEBIH PENUMPANG, KALAU DIA UDAH TERDOKTRIN BISA KEJADIAN."
Atau akun @Indraagwn yang mengaitkan postingan OGT dengan tragedi penerbangan MH370 yang belakangan disebut-sebut sengaja dibuat jatuh oleh pilot pesawat itu sendiri.
Terkait segala kegaduhan tersebut, Garuda Indonesia telah memastikan OGT telah didaratkan (grounded) sejak Jumat (18/5). Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia, Hengki Heriandono mengungkap pihaknya akan melakukan investigasi lanjutan terkait motif dan latar belakang postingan OGT.
"Kami memiliki kebijakan dan aturan perusahaan terkait koridor publikasi konten konten sosial media yang dikeluarkan karyawan khususnya pilot dan awak kabin, mengingat atribut mereka sebagai personil awak pesawat Garuda Indonesia mendapatkan sorotan dari masyarakat luas," jelas Hengki.
Garuda Indonesia juga secara rutin melakukan screening berkala terhadap karyawan serta pilot dan awak kabin, khususnya terkait berbagai hal yang bertalian dengan komitmen safety operasional penerbangan.
"Pada kesempatan ini, Garuda Indonesia juga menyampaikan komitmen dan dukungannya terhadap upaya seluruh pihak dalam upaya pemberantasan terorisme.Tentunya sekiranya ditemukan indikasi karyawan yang terlibat aktivitas tersebut, perusahaan akan memberikan sanksi tegas," tambah Hengki.
MH370
Pada 15 Mei 2018, sejumlah ahli merilis pernyataan terkait peristiwa hilangnya penerbangan MH370 yang disinyalir sebagai tindakan kejahatan yang sengaja dilakukan kapten pesawat.
Dalam sebuah program televisi Australia, 60 Minutes, para ahli mengatakan, bukti menunjukkan pilot MH370, Kapten Zaharie Amad Shah melakukan serangkaian manuver untuk menghindari deteksi dan memastikan pesawat menghilang di lokasi terpencil.
"Sangat disayangkan, dia (Zaharie) juga membunuh semua orang di pesawat dan dia melakukannya secara sengaja. Dia membawa pesawat itu ke sebuah tujuan awal, tempat yang telah direncanakannya dan dia terbang selama enam jam untuk mencapainya," ungkap Larry Vance, mantan Investigator Senior Dewan Keselamatan Transportasi Kanada dalam acara tersebut.
Selain Vance, banyak ahli penerbangan lain juga meyakini Zaharie bertanggung jawab atas insiden itu. Pada 2016, Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull bahkan juga mengatakan sangat mungkin Zaharie merencanakan peristiwa mengejutkan ini.
"Pesawat mungkin mengalami pengurangan tekanan, orang-orang tewas akibat sesak napas, ini pembunuhan yang direncanakan. Ini sungguh direncanakan. Jenazah korban tidak pernah ditemukan," ungkapnya.
Sejak hilang kontak dalam perjalanan dari Kuala Lumpur ke Beijing 2014 silam, nasib 239 penumpang dan sejumlah awak MH370 belum juga diketahui. Bahkan, bangkai pesawat Boeing 777 yang mengangkut mereka belum juga ditemukan. Sementara, upaya pencarian MH370 rencananya akan diakhiri pada pertengahan Juni mendatang.
Radikalisme di BUMN
Tentu, kita enggak bisa begitu saja menyebut OGT sebagai penganut paham radikal. Sebagai makhluk merdeka, OGT bisa saja menduga-duga, bahkan menyuarakan dugaannya lewat posting-an media sosial. Namun, fakta adanya potensi bahaya sebagaimana yang ditakutkan oleh banyak netizen yang melihat gerak-gerik digital OGT, tentu enggak bisa dikesampingkan.
Menurut hasil survei yang dilakukan Alvara Research Centre dan Mata Air Foundation, didapati angka bahwa 26,9 persen pekerja BUMN mulai terpapar dengan ajaran-ajaran radikal.
Dengan metode wawancara tatap muka, survei ini dilakukan terhadap 1.200 responden dari kalangan profesional, mulai dari PNS, swasta, dan BUMN responden di enam kota besar se-Nusantara, mulai dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar.
Terkait indikator tersebut, meski 29,6 persen responden menyatakan setuju konsep perjuangan terhadap negara Islam, angka itu kembali terpecah ketika indikator tersebut dipersempit dengan khilafah sebagai bentuk negara, di mana profesional yang setuju khilafah hanya berada di angka 16 persen. Sebanyak 84 persen lainnya menyatakan NKRI tetap paling oke.
Meski begitu, ada angka yang terpecah di antara indikator-indikator tersebut, yakni 19,6 persen responden yang menyatakan setuju dengan konsep jihad. Angka tersebut tentu bukan angka yang kecil untuk sebuah bibit pertumbuhan radikalisme.
Jika tak ditangani secara serius, sungguh bukan tak mungkin angka itu akan meningkat pesat di waktu-waktu mendatang, beriringan dengan berbagai aksi dan tindak intoleransi yang biasa mengirinya.