Berabe sih memang. Tudingan itu jelas bukan tuduhan main-main. Tapi, sebagai manusia-manusia yang sudah 20 tahun hidup dalam iklim demokrasi, mau gak mau kita harus belajar menerima pandangan orang lain, termasuk pemikiran menyebalkan OGT yang terasa begitu penuh konspirasi seperti film-film hollywood.
Lagipula, isu terorisme memang selalu terkesan seperti itu. Sungguh seperti bagian dari sebuah plot film. Muncul begitu heboh di satu adegan, menyedot perhatian begitu besar, namun begitu mudah pula kegentingannya hilang di adegan-adegan lain.
Kami paham, mungkin ini cuma perkara spotlight media massa. Kami pun sadar, enggak bijaksana juga berlarut terlalu lama dalam dampak teror. Tapi, tetap saja. Rasanya kok, nganu. Maka, bagi kami, kesan nganu itu harus segera diakhiri.
Atau, jangan-jangan kesan ini muncul bukan karena aksi terorisme yang mirip adegan film, melainkan penanganannya yang terlampau 'aksi'. Iya, penanganan terhadap aksi terorisme selalu terasa penuh aksi, terasa heroik, bising letusan, dan terkadang berdarah-darah. Sekilas, segala hal itu nampak seperti solusi.
Sedikit menembak, banyak memantau
Padahal, penanganan aksi terorisme nyatanya lebih dari itu. Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian sendiri yang bilang bahwa operasi striking atau penindakan itu cuma lima persen dari seluruh aksi pemberantasan terorisme.
Selebihnya, 20 persen pemberantasan terorisme adalah pemberkasan terkait upaya hukum dalam persidangan. Porsi terbesar dari operasi pemberantasan terorisme sendiri adalah intelijen, dengan proporsi 75 persen.
Selain itu, operasi pemberantasan terorisme sudah seharusnya jadi tanggung jawab bersama. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun telah mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu melawan terorisme. Jokowi sadar, terorisme adalah kejahatan luar biasa yang harus juga dilawan dengan cara luar biasa.
Penjagaan di Mapolrestabes usai serangan bom, 14 Mei 2018 (Hamni/era.id)
Dalam penanganan pemberantasan terorisme, Jokowi telah menginstruksikan seluruh otoritas terkait untuk menyeimbangkan tindakan hard power dengan soft power. Artinya, selain operasi striking atau penindakan, deradikalisasi juga jadi hal yang wajib dilakukan.
Kata Jokowi, deradikalisasi yang selama ini telah dilakukan harus diperluas, bukan lagi hanya terhadap narapidana terorisme, tapi juga membersihkan lembaga-lembaga pendidikan, dan ruang-ruang belajar yang kerap dijadikan sarana penyebaran paham radikal.
Terkait pendekatan soft power itu, Menko Polhukam, Wiranto menyebut ada proses panjang yang terjadi dalam tiap-tiap individu yang menjadi bagian dari jaringan kelompok teroris. Setiap individu, kata Wiranto mengalami setidaknya empat proses, mulai dari rekrutmen, brainwashing, pelatihan, hingga aksi.
"Sehingga ada satu ujung dari proses itu, yaitu aksi-aksi yang dilaksanakan, terorisme,” kata Wiranto di Kantor Presiden, Selasa (22/5) kemarin.
Buat Wiranto, jelas, terorisme adalah perang asimetris yang begitu berbahaya. Bayangkan, kelompok teroris ini menjadikan masyarakat sebagai pengikut untuk melakukan serangan kepada orang-orang yang notabene merupakan bagian dari masyarakat juga.
Penjagaan di Mapolrestabes usai serangan bom, 14 Mei 2018 (Hamni/era.id)
Pemberantasan
Terkait operasi striking pemberantasan terorisme, polisi memutuskan untuk menggandeng TNI. Kolaborasi keduanya pun nyatanya menghasilkan capaian yang lumayan. Terhitung sejak 13 Mei hingga 21 Mei 2018, 74 orang telah ditangkap, dengan 14 di antaranya tewas ditembak.
Dari angka tersebut, 31 orang ditangkap di Jawa Timur, delapan orang di Jawa Barat, 16 orang di Banten, empat orang di Sumatera Selatan, enam di Sumatera Utara, dan sembilan orang di Riau. Dari penangkapan itu, polisi mengamankan sejumlah barang bukti berupa baterai, switch, bahan peledak, hingga sejumlah paket bom siap ledak.
Terkait keterlibatan TNI, Tito mengaku dirinya yang meminta bantuan kepada Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto mengerahkan prajuritnya untuk berkolaborasi dengan polisi dalam operasi striking pemberantasan terorisme.
Bagi Tito, segala upaya yang harus dilakukan untuk memberantas terorisme harus didukung, termasuk pengaktifan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) TNI, prajurit-prajurit pilihan yang diambil dari tiga Matra TNI (AD, AU, AL) yang bakal dikhususkan untuk membantu pemberantasan terorisme.
“Jadi, saya berpendapat bahwa saat ini yang terjadi adalah mekanismenya mirip seperti Operasi Tinombala, di mana kekuatan TNI dan Polri bergabung dalam rangka bersama-sama menangani itu,” kata Tito.
Lebih lanjut, Tito menegaskan, hal terpenting dari pemberantasan terorisme bukan lah penindakan, tapi bagaimana menyatukan seluruh unsur masyarakat dalam gerakan perlawanan bersama. Bukan malah memperkeruh suasana dengan membuat bunyi-bunyian yang dapat memicu perpecahan.
"Jadi prinsip penanganan terorisme itu adalah bagaimana memenangkan dukungan publik. Kalau publik mendukung langkah-langkah pemerintah, negara, maka terorisme tidak akan bisa berkembang," kata Tito.