Hak-hak Korban Teror dalam UU Antiterorisme

| 25 May 2018 16:49
Hak-hak Korban Teror dalam UU Antiterorisme
Paripurna pembahasan RUU Antiterorisme (Foto: Mery/era.id)
Jakarta, era.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui rapat paripurna telah mengesahkan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Jumat (25/5/2018). 

Dalam UU Antiterorisme yang baru saja disahkan itu, terdapat penambahan substansi dari UU sebelumnya. Salah satunya adalah ketentuan terkait perlindungan korban aksi terorisme yang diatur secara komprehensif, mulai dari definisi korban, ruang lingkup korban, hingga pemberian hak-hak korban. 

Jika sebelumnya ketentuan dalam UU Terorisme hanya mengatur kompensasi dan restitusi, dalam UU Terorisme yang baru saja disahkan ini, berbagai hak korban ditambah meliputi bantuan medis, rehabilitasi psikologis, dan rehabilitasi psikososial.

Ketentuan-ketentuan terkait hal tersebut, kata Syafii diatur dalam Pasal 34A, Pasal 36, Pasal 36A, dan Pasal 36B. "RUU (saat ini sudah UU) mengatur pemberian hak bagi korban yang mengalami penderitaan sebelum RUU ini disahkan," tutur Syafii di Gedung DPR, Jakarta.

Baca Juga : Memahami Cara Negara Lawan Terorisme

Berlaku buat seluruh korban bom

Melengkapi keterangan Syafii, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly menjelaskan, UU Antiterorisme yang baru enggak cuma berlaku ke depan, tapi juga berlaku mundur. Artinya, korban bom yang terjadi sebelum UU tersebut disahkan juga akan mendapat kompensasi, termasuk korban bom Bali pada 2002 lalu.

"Dan itu kan pengobatannya, itu ini keputusan politik kita. Karena masih banyak di antara setelah teman-teman pansus pergi ke daerah, mendengar juga pemerintah, mendengar para korban ada yang barangkali belum terselesaikan, masih ada trauma, masih ada ini ya itu kita harapkan kita bisa selesaikan," kata Yasonna.

Dalam UU ini, korban dibagi menjadi dua, yakni korban langsung dan korban enggak langsung. Dalam Pasal 35 ayat 2 huruf a dijelaskan, yang dimaksud dengan korban langsung adalah korban yang mengalami dan merasakan akibat serangan teror itu secara langsung.

Baca Juga : Ada 5 Bab Baru di RUU Terorisme

Mekanisme

Sementara, terkait korban enggak langsung, huruf b pasal yang sama menjelaskan, korban enggak langsung adalah mereka yang menggantungkan hidupnya pada korban langsung. Misalnya istri yang kehilangan suami yang merupakan korban langsung.

Terkait mekanisme pengajuan kompensasi sendiri diatur dalam norma Pasal 36 ayat (3) yang berbunyi: Mekanisme pengajuan kompensasi dilaksanakan sejak tahap penyidikan. Selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana terorisme bersama tuntutan. Jumlah kompensasi dihitung secara proporsional dan rasional dengan mendasarkan pada kerugian materil dan immateril.

Sedangkan Pasal 43L ayat (1) berbunyi, yang dimaksud dengan korban langsung yang diakibatkan dari tindak pidana terorisme sebelum UU ini mulai berlaku adalah korban yang diakibatkan dari tindak pidana terorisme yang terjadi sejak berlakunya peraturan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Selain menambahkan bab baru, DPR dan pemerintah juga menghapus beberapa pasal yang sebelumnya tercantum. Salah satu pasal yang dihapus adalah sanksi pencabutan status kewarganegaraan di pasal 12B dan sanksi penahanan 'Guantanamo' di pasal 43A.

Baca Juga : Sebuah Catatan Komnas HAM untuk RUU Terorisme 

Rekomendasi