Waktunya Kembali ke Wacana Memiskinkan Koruptor

| 31 May 2018 08:08
Waktunya Kembali ke Wacana Memiskinkan Koruptor
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Andai kasus korupsi adalah air, dan KPK adalah ember, barangkali ini waktunya kita pergi ke toko perabotan rumah tangga. Bukan untuk membeli ember lain, tapi untuk membeli keran, supaya aliran air bisa dikontrol, syukur-syukur bisa dihentikan seluruhnya.

Habis, mau seperti apapun kekuatan KPK ditambah, rasanya kok enggak pernah cukup untuk mengimbangi derasnya keserahan para pelaku korupsi. Mungkin, sudah saatnya kita kembali menghidupkan wacana memiskinkan koruptor. Biar jera mereka!

Siang tadi, kami mampir ke markas Indonesian Corruption Watch (ICW) di Kalibata, Jakarta Selatan, mengikuti diskusi yang mereka gelar. ICW merilis data yang secara keseluruhan menggambarkan sebuah kondisi menyebalkan soal penegakan hukum kasus korupsi di Tanah Air.

Menurut data ICW, pada tahun 2017, rata-rata koruptor hanya dijatuhi pidana dua tahun satu bulan. Angka itu sejatinya sudah menunjukkan peningkatan di tingkat pengadilan tinggi. Tapi, tetap saja belum signifikan.

Peneliti ICW, Lalola Easter bilang, ringannya ganjaran hukum itulah yang mendasari banyaknya kasus korupsi. Jangankan kasus korupsi yang melibatkan wajah-wajah baru. Residivis kasus korupsi saja banyak yang nekat kembali melakukan kejahatan yang sama.

"Bagaimana hukuman penjara seperti ini mau menjarakan koruptor, karena ya selain vonisnya masih ringan, tuntutannya masih ringan," tutur Lola.

Miskinkan koruptor

Kembali pada wacana memiskinkan koruptor. Lalola bilang, hal tersebut sejatinya sangat potensial untuk digunakan sebagai instrumen ampuh untuk memunculkan efek jera bagi para koruptor.

Caranya, kata Lola adalah dengan secara konsisten menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). "Kalau aparat penegak hukum mau konsisten, cobalah menerapkan pasal pencucian uang."

Lola bilang, setiap pidana korupsi sebetulnya hampir pasti diteruskan sebagai tindak pidana pencucian uang, termasuk bagaimana para koruptor itu mengonversi uang-uang curian mereka menjadi barang investasi atau pun unit bisnis.

Sependapat, mantan Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Artidjo Alkostar juga melihat instrumen Pasal TPPU sebagai cara untuk memancing rasa jera para koruptor. Apalagi, Pasal TPPU memungkinkan penegak hukum untuk menyeret korporasi, jika korporasi itu dibangun dari hasil korupsi.

"Pelaku korupsi banyak yang sudah membuat perusahaan dulu untuk menampung. Cara agar memiskinkan koruptor agar dia tidak berlindung di bawah perusahaan adalah mereka yang telah diseret tentu korporasinya juga diseret," ungkap Artidjo.

Rasa malu

Secara spesifik, memiskinkan koruptor barangkali bisa jadi solusi untuk memunculkan rasa jera. Tapi, selain rasa jera, rasanya instrumen untuk menumbuhkan rasa malu di dalam diri koruptor juga jadi penting untuk dibentuk.

Bagaimana enggak. ICW mencatat cukup banyak residivis kasus korupsi yang dengan pedenya tetap maju sebagai calon legislatif, bahkan sebagai calon kepala daerah di tingkat tak tahu malunya sudah mencapai level langit-langit.

"Masih banyak residivis yang ditangkap lagi dalam perkara korupsi yang berbeda. Di sisi lain juga koruptor ini tidak jera karena ada yang running lagi jadi calon legislatif atau kepala daerah," tutur Lola.

Catatan ICW jadi relevan dengan situasi politik dan penegakan hukum yang terjadi di tingkat eksekutif terkait ini, bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah berhadapan dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan DPR dalam pengajuak rancangan PKPU (Peraturan KPU) terkait larangan koruptor nyaleg yang mereka ajukan.

KPU mempertanyakan, bagaimana mungkin Kemendagri, Bawaslu, dan DPR yang notabene adalah mitra kerja mereka malah menolak usulan ini. Terakhir, KPU memilih tetap melenggang maju ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM).

Praktisi Hukum Abdul Fickar Hadjar mengatakan, payung hukum memang sangat penting dalam upaya penegakan kasus korupsi. Namun, sebagai kejahatan luar biasa, korupsi tentu harus ditangani dengan cara yang juga tak biasa.

Ketegasan setiap penegak hukum pun jadi hal yang harus hadir di setiap penegakan hukum dalam kasus korupsi. "Penjeraan harus dimulai oleh ketegasan unsur aparat penegak hukumnya, terutama hakim. Karena sedikit banyak akan melahirkan penjeraan pada pelaku korupsi, paling tidak akan banyak berkurang (pelaku korupsi)," tutur Fickar.

Rekomendasi