Nah, sesungguhnya, ada tiga alasan seseorang melakukan tindak pidana korupsi. Yang paling utama adalah faktor kebutuhan. Kedua, faktor serakah, dan ketiga adalah faktor lingkungan. Tiga hal ini yang dianalisis oleh Praktisi Hukum Abdul Fickar Hadjar.
Fickar memaparkan alasan kebutuhan orang melakukan tindak pidana korupsi sebagai faktor kebutuhan. Misalnya begini, pada masa lalu, korupsi karena kebutuhan banyak dilakukan oleh para birokrat kecil karena besaran gajinya tidak memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun, pada perkembangannya, korupsi karena kebutuhan ini justru terjadi karena besaran modal yang dikeluarkan si pelakunya, yaitu para calon kepala daerah seperti gubernur, bupati dan wali kota. Perlu diketahui, untuk menjadi kepala daerah, modal politik yang harus dikeluarkan sangatlah besar.
"Berapa banyak kepala daerah incumbent/calon kepala daerah tertangkap KPK? Umumnya yang tertangkap tangan itu pada waktu menerima, meminta dan memeras stake holdernya, mungkin juga disebabkan ongkos pencalonan pilkada yang bernilai besar," sebut Fickar di Kantor Indonesian Corruption Watch, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (30/5/2018).
Faktor yang kedua, lanjut Fickar, adalah faktor keserakahan si pelaku. Sebab, banyak pejabat melakukan tindak pidana korupsi meski memiliki harta yang berlebihan.
"Misalnya, para penyelenggara negara, pengusaha, ataupun anggota DPR tertangkap dan diadili serta diputus sebagai koruptor, jika dilihat LHKPN-nya mungkin tidak akan habis dikonsumsi 7 (tujuh) turunan. Tapi, realitanya merekalah yang justru banyak melakukan korupsi, karena memang merekalah yang paling punya kesempatan untuk melakukan korupsi," kata dia.
Fickar melanjutkan, selain kedua faktor di atas, faktor penyebab orang melakukan tindakan pidana korupsi karena sistem. Biasanya, dalam konteks ini pelaku semula bukan pelaku yang antusias atau berambisi, tetapi karena sekelilingnya yang sudah korup dan jika ditolak akan dianggap aneh. Benih-benih ini yang membuat si pelaku harus ikut-ikutan bertindak korup.
Nah, Fickar kemudian membagi dua model pelaku korupsi karena sistem tadi. Pertama, seseorang terlibat karena jabatan yang didudukinya terbiasa atau merangsang stakeholder untuk menyerahkan uang ketika berurusan dengan jabatan itu. Meski pada awalnya sang pejabat akan menolak, tapi pada akhirnya dikalahkan oleh lingkungannya.
Tipe kedua, pejabat yang diputus sebagai terdakwa pidana korupsi yang sebenarnya dia menolak dan tidak menikmati uang korupsi. Tetapi karena sepengetahuannya, dia harus bertanggung jawab atas perbuatan bawahannya yang bertindak korup itu.
"Bagaimanapun juga korupsi karena sistem tidak akan pernah lepas dari sanksi pidana, karena kondisinya mereka seorang pejabat yang meskipun terpaksa tapi tetap memenuhi unsur kesalahan (paling tidak kelalaian), karena itu tidak bisa diterapkan Pasal 48 KUHP (perbuatan dilakukan karena daya paksa) sebagai alasan pemaaf atau penghapus pidana," kata dia.
Nah, urusan korupsi ini, KPK selalu mewanti-wanti kepada seluruh pihak agar tidak tersangkut kasus korupsi. Bahkan, KPK mempertegas batasan gratifikasi untuk para pejabat negara.
Pada dasarnya semua penyelenggara negara wajib menolak gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan. Bila ada kondisi yang tidak memungkinkan untuk menolak langsung, maka diberi batas 30 hari untuk melaporkannya ke KPK. Tegas, bukan?