Menanggapi hal tersebut, anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan, bahwa kader yang berhenti atau keluar merupakan hal yang wajar.
"Kader yang berhenti berjuang atau bahkan keluar dan mundur dari gerakan perjuangan seperti Gerindra adalah hal yang wajar. Karena memang perjuangan ini tidak menjanjikan sesuatu yang instan seperti pangkat, jabatan, atau kedudukan," katanya, melalui keterangan tertulis yang diterima era.id, di Jakarta, Rabu (13/6/2018).
Kemudian, lanjut Habiburokhman, soal tuduhan Nuruzzaman terhadap Fadli yang dianggap berkomentar politis soal Yahya Staquf tidak tepat. Sebab, katanya, Yahya tak hanya diprotes oleh Fadli melainkan juga tokoh-tokoh lain.
"Menurut saya juga tidak tepat. Pak Yahya ini diprotes bukan hanya oleh Bang Fadli, tetapi juga banyak tokoh dari partai lain. Bahkan MUI dan PBNU menyatakan kehadiran Pak Yahya di sana tidak ada hubungannya dengan organisasi," jelasnya.
Menurut Habiburokhman, sangat aneh saat Nuruzzaman menyebut Jakarta sebagai kota paling intoleran, lantatan tidak jelas ukurannya.
"Mari bandingkan Jakarta dengan belasan kota di Eropa yang melarang penggunaan jilbab, atau untuk dalam negeri kita bisa bandingkan Jakarta dengan kota di mana ada penggerudugan dengan senjata tajam terhadap tokoh yang dianggap berbeda pendapat," katanya.
Adapun Mohammad Nuruzzaman mengatakan, manuver Partai Gerindra saat ini lebih menjadi corong kebencian yang mengamplifikasi kepentingan politik yang hanya berkutat pada kepentingan elitenya saja.
"Sama sekali hilang Indonesia Raya yang ada di dada setiap kader Gerindra," kata Nuruzzaman melalui pernyataan tertulisnya.
Bahkan, Nuruzzaman menilai, pengurus Partai Gerindra makin liar memainkan isu SARA pada kampanye Pilkada DKI 2017. Nuruzzaman mengaku sangat berat menerima kenyataan itu hingga batas kesabarannya habis saat Fadli dia anggap menghina kiai NU.
"Isu SARA yang sudah melampaui batas dan meletakkan Jakarta sebagai kota paling intoleran adalah karena kontribusi elite Gerindra yang semua haus kekuasaan dunia saja, tanpa mau lagi peduli pada rakyat, di mana Bapak (Prabowo) harusnya berpijak," tuturnya.
Menurut Nuruzzaman, dirinya memilih menjadi kader Partai Gerindra lantaran memiliki kesamaan dengan sikap ketua umumnya, Prabowo Subianto, yang berjuang berdasarkan platform kepedulian dan keberanian.
Baca Juga: Prabowo Segera Gelar Safari Politik
Namun, dia merasa kecewa, lantaran Prabowo sebagai Ketua Umum Partai Gerindra seperti sudah semakin tuli untuk mendengar para kader yang masih ingin berjuang demi kemajuan Indonesia. Karena sudah tak sejalan, Nurazzaman akhirnya memilih hengkang.
"Saya sudah berpikir untuk mundur dari Gerindra pada Desember 2017, karena kontribusi dan ketulusan saya berjuang bersama tidak pernah terakomodasi sehingga, tinggal mencari momen yang tepat yang sesuai dengan premis awal saya di atas," katanya.
"Hari ini, 12 Juni 2018, saya marah. Kemarahan saya memuncak karena hinaan saudara Fadli Zon kepada kiai saya, KH Yahya Cholil Staquf terkait acara di Israel yang diramaikan dan dibelokkan menjadi hal politis terkait isu ganti presiden," tuturnya.
"Akhir kata, saya Mohammad Nuruzzaman, kader Gerindra hari ini mundur dari Partai Gerindra dan saya pastikan, saya akan berjuang untuk melawan Gerindra dan elite busuknya sampai kapan pun," tutupnya.
Baca Juga: Simbiosis Mutualisme Buruh dan Prabowo