Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno mengatakan, salah satu pilkada yang menarik perhatian adalah pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Sumatera Utara. Pasalnya, pasangan calon yang bersaing memiliki latar belakang berbeda dengan karakteristik pemilih yang beragam.
Berdasarkan data BPS 2010, jumlah penduduk Sumut mencapai 13.103.596 dan daftar pemilih tetapnya mencapai 9.902.879 pada Pilpres 2014.
Sumut dihuni etnis Batak (44,57 persen), Jawa (33,28 persen), Nias (7,03 persen), Melayu (5,95 persen), Tionghoa (2,62 persen), Minangkabau (2,57 persen), dan Aceh (1,02 persen).
“Memilih berdasarkan etnisitas itu penting, tapi track record lebih penting,” kata Adi, saat dihubungi, Senin (18/6/2018).
Pilkada Sumut diikuti dua pasang cagub-cawagub, Edy yang kelahiran Aceh berduet dengan Ijeck yang lahir di Medan dan beragama Islam. Namun, popularitas Ijeck terganggu setelah dia beberapa kali diperiksa KPK atas dugaan kasus korupsi yang menjerat mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.
Baca Juga: Menanti Perubahan Sumut dengan Tidak Golput
Cagub Sumut nomor urut dua, Djarot Saiful Hidayat beretnis Jawa, muslim, dan berpengalaman menjadi kepala daerah di Blitar serta DKI Jakarta. Djarot didampingi Sihar Sitorus, pengusaha berdarah batak kental kelahiran Jakarta dan tokoh sepak bola nasional.
Menurut Adi, masyarakat Sumut masih punya banyak waktu untuk mencari informasi lengkap mengenai latar belakang calon pemimpinnya. Semakin banyak informasi mengenai cagub-cawagub maka semakin baik dan bisa mencegah salah pilih kepala daerah. Apalagi warga Sumut sudah trauma karena kepala daerah sebelumnya menjadi pesakitan akibat korupsi.
“Kan kelihatan mana kandidat yang basa-basi dan mana yang sungguhan bekerja untuk rakyat. Jangan pilih yang berpotensi punya masalah hukum, terutama korupsi. Jangan sampai kepala daerah sudah dipilih, tapi dia berurusan dengan hukum,” ungkap Adi.
Dia melanjutkan, masyarakat juga harus jeli melihat calon kepala daerah yang hanya sibuk pencitraan atau memainkan isu SARA. Figur terbaik untuk menjadi kepala daerah bukan hanya bersih, tapi juga mampu menyelesaikan persoalan Sumut dengan kebijakan yang terukur.
“Isu putera daerah sudah tidak signifikan. Masyarakat semakin cerdas, percuma pilih putera daerah kalau dia tidak bisa bekerja,” ujar Adi.