Hasil survei Lembaga Indo Barometer merilis elektabilitas paslon Djoss unggul di angka 37,8 persen. Sedangkan, Eddy-Ijeck di angka 36,9 persen. Namun, ada sekitar 25,4 persen masyarakat Sumut belum menentukan pilihan.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, dinamika elektabilitas kedua paslon tersebut saling bersaing ketat dan tipis sekali bedanya.
"Tren elektabilitas paslon Djoss awalnya 26,0 persen menjadi 37,8 persen, sedangkan Eddy-Ijeck 25,8 persen meningkat 36,9 persen. Kalau sangat tipis seperti ini, quick count tidak bisa harus menunggu hasil penghitungan suara langsung," katanya, di bilangan Sudirman, Jakarta, Rabu (20/6/2018).
Terkait dengan debat terakhir, kata Qodari, pihaknya menemukan fakta bahwa dari total keseluruhan pemilih di Sumut, yang berminat nonton debat hanya 10 persennya. Menurut dia, hal ini merupakan kegagalan dari KPUD sebagai penyelenggara pemilu.
"Kita pernah punya data bahwa yang nonton debat Pilkada di Sumut itu sangat sedikit. Seingat saya hanya sekitar 10 persen. Menurut kami itu sebuah kegagalan dari penyelenggara pemilu. Seharusnya kalau kita bicara Pilkada, debat kandidat itu ditonton banyak orang," jelasnya.
Apalagi, kata Qodari, debat merupakan forum yang harus dimanfaatkan masyarakat atau pemilih dalam melihat program dan visi misi untuk mengambil keputusan rasional.
"Jadi seharusnya dengan angka 10 persen itu KPU membuat inisiatif baru agar tingkat nontonnya makin besar," tuturnya.
Di sisi lain, Qodari juga menyoroti jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di tahun 2018 yang berkurang drastis hingga mencapai 1 juta. Jika sebelumnya pada tahun 2013 jumlah pemilih mencapai 10.295.013 sedangkan 2018 jumlahnya 9.062.815
"Jumlah pemilih ditahun 2018 malah turun 1 juta dibanding 2013. Heran juga saya, satu provinsi 1juta orang hilang kemana itu. Berarti kotor sekali, setelah dilakukan bersih-bersih hilang 1 juta," ucapnya.