Kisah Lulusan SMA Jadi Joki Strava: Cuan Bisnis dari Modal Rasa Malas Orang Lain

ERA.id - Lapangan Sempur Bogor sedang dipakai latihan baris-berbaris saat tim Era.id berkunjung Kamis (11/7/2024) lalu. Sebagian anggota paskibraka berjemur di depan tiang bendera, sedangkan lainnya berputar-putar keliling lapangan dengan ritme teratur. Jarum jam belum sampai angka sebelas, tapi hari sudah terik.

Berbagai aktivitas fisik lain bertebaran di sekitar lapangan, mulai jogging, latihan bola, bela diri, hingga panjat tebing. Namun, kami bukan meliput semua itu, melainkan kisah seorang joki Strava yang sedang naik daun.

Joki Strava yang kami temui baru lulus SMA tahun ini. Namanya Satria. Kami janjian bertemu di Lapangan Sempur karena dekat dari rumahnya—kurang dari lima menit naik motor. Ia datang memakai sepatu lari Geist Ekiden abu-abu bersol merah dan celana training pendek di atas lutut. Sekilas kami lihat fitur wajahnya mirip artis Ananda Omesh.

"Lebih sering dibilang mirip Giring Nidji, sih, Mas," ucap Satria lalu ketawa setelah mendengar komentar kami.

Ia mengaku buka jasa joki Strava baru-baru ini, sambil menunggu hasil pendaftaran kuliah. Sejauh ini, Satria sudah mencoba mendaftar ke Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Indonesia (UI), Universitas Negeri Malang (UM), hingga Universitas Brawijaya (UB). Ia mengincar jurusan manajemen.

"Impian saya sih sebenarnya pengen banget punya pekerjaan gajinya double digit, terus saya juga enjoy menjalani pekerjaan itu. Tapi untuk waktu dekat ini saya pengen banget keterima UMPTN," jelas Satria.

Kami pun penasaran dari mana hobi larinya berasal. Lulusan SMA Yayasan Persaudaraan Haji Bogor (YPHB) ini lalu bercerita ia ketularan ayahnya. Sejak kecil, ia kerap diajak ayahnya lari sore hingga ikut fun marathon. Itu sebabnya banyak medali maraton terpajang di galeri media sosialnya.

Sementara itu, Satria mengaku kerja sampingan jadi joki Strava awalnya cuman iseng-iseng.

"Jadi awal ceritanya itu, kebetulan saya lagi nongkrong, terus saya lihat video TikTok joki Strava, terus saya tunjukin ke teman-teman saya. 'Ih apaan nih lucu-lucuan aja, coba dong buka siapa tau ada yang mau,' kata teman. Akhirnya ya sudah buka Twitter aja, upload segala macam, terus ada juga yang order," cerita Satria.

"Saya juga kagetnya kok ada yang order sih," sambungnya.

Jauh sebelum berkecimpung di dunia joki Strava, semasa pandemi Satria juga sudah mencoba-coba kerja sampingan buat menambah uang jajan. Misalnya, ia pernah menawarkan jasa joki tugas ke teman-teman sekolahnya. Ia juga sempat menjajal sebagai freelancer desain grafis. 

"Karena saya juga emang ada basic Photoshop sama illustrator, jadi saya ambil saja deh, hitung-hitung belajar juga," ceritanya. "Kebetulan di SMA saya sendiri itu ada kayak ITpreneur. Jadi itu ngajarin cara ngedesain gimana, terus ngajarin cara bikin game juga. Tapi kalau saya pribadi belajarnya dari YouTube sih, gratis semua."

Menurut pengakuan Satria, penghasilannya kala itu jauh melebihi kerja joki Strava yang ia lakoni saat ini. Namun, sejak pandemi berakhir, ia sudah tak punya banyak waktu karena sibuk ujian sekolah hingga masuk kuliah. 

Kini ia tinggal menunggu diterima kuliah di mana. Dan sambil harap-harap cemas menanti hasilnya, ia meluangkan waktu dengan berolahraga sambil dibayar. Katanya, meski dapatnya kecil-kecilan, tapi lumayan buat kebugaran tubuhnya. 

Mekanisme joki Strava ala Satria

Aplikasi Strava sebetulnya sudah rilis sejak Presiden SBY memulai periode kedua pada 2009. Fungsi utamanya meliputi pelacakan aktivitas olahraga pengguna dengan memanfaatkan data GPS, seperti berlari, bersepeda, hingga hiking. Namun, nama aplikasi ini belakangan semakin tenar sejak tren joki Strava ramai di internet.

“Saya juga kurang tahu ya, karena kemungkinan orang-orang sekarang juga tahunya Strava. Padahal aplikasi yang saya tau itu ada Nike Run, Adidas Running juga, terus ada Relive juga itu aplikasi lari gitu. Mungkin hype juga, terus orang-orang di TikTok, Instagram, seringnya sharing Strava,” ujar Satria.

Sebagai orang yang memang gemar lari, ia tak membayangkan bakal ada yang ingin menyewa jasa joki Strava. Makanya, begitu ada yang mengirim uang ke rekeningnya karena jasa tersebut, Satria terheran-heran.

"Agak kaget juga ya. Joki kan biasanya joki tugas, joki Mobile Legend, atau mungkin joki motor yang paling umum ya. Joki Strava apaan? Strava kan buat orang lari, masa Strava aja joki? Malas banget orang-orang,” ujarnya.

"Jadinya menguntungkan orang juga sih. Perbanyak aja orang malas, jadi sayanya juga kaya," sambungnya.

Baru seminggu buka akun joki Strava, sudah ada lima pelanggan yang memakai jasanya. Asalnya beragam, kebanyakan dari Jabodetabek, tapi ada juga yang dari Makassar. Sementara yang bertanya-tanya penasaran lebih banyak lagi.

Alasan klien Satria memakai jasanya juga macam-macam, mulai dari tugas sekolah hingga sekadar update kegiatan di media sosial. Menurutnya, bisa jadi itu meningkatkan gengsi sosial, minimal di tongkrongan.

"Untuk latar belakang orang yang order, kemarin-kemarin ada yang bilang juga, 'Saya ditantang dari kantor saya untuk lari setiap hari.' Jadi itu pasti pekerja kantoran. Terus ada juga yang, 'Kak saya ada tugas nih, bina fisik (binsik).' Itu pasti pelajar," jelas Satria.

"Kemungkinan (klien joki Strava) itu pekerja kantoran, mahasiswa, atau pelajar, ketiga itu udah paling mungkin,” lanjutnya.

Untuk tarif yang dikenakan pelanggannya, Satria jujur tak tahu persis harga pasarannya berapa. Ia hanya mematok sekenanya setelah berunding dengan teman-teman setongkrongan. Per 1 kilometer, dihargai Rp5 ribu. Sementara jika ada permintaan kecepatan pace (menit per kilometer) tertentu, ada biaya tambahan.

"Pace 4 sendiri itu di Rp20 ribu; pace 5-6 itu Rp10 ribu, terus di bawah itu semua Rp5 ribu," ujarnya. Misalkan ada klien yang order lari jarak 5 km dengan kecepatan 4 menit/km (pace 4), maka harganya Rp45 ribu.

"Ya alhamdulillah, pokoknya saya tiap hari Rp15 ribu sudah kepegang. Buat jajan bisalah. Hitung-hitung buat anak SMA lumayan lah Mas buat beli makan, buat beli apa gitu," ungkapnya.

Namun, Satria membatasi jarak maksimal 10 km. Di atas itu, ia tidak sanggup. Staminanya belum kuat. Pernah sekali waktu ia menerima pesanan di jarak 15 km, ia pun harus membagi tugas dengan teman-teman tongkrongannya. Setiap orang dapat jatah 5 km.

"Kesulitan jadi joki Strava, mungkin kalau dari saya sendiri, karena saya juga bukan yang benar-benar bisa lari dalam jarak jauh ya," ujarnya.

Ia pun sesekali menerima pesanan joki Strava yang agak janggal, yaitu bukan pakai hitungan jarak tempuh, tapi jumlah langkah (step). Terakhir, ada klien yang memintanya berjalan 10 ribu langkah. Satria memasang harga Rp10 ribu.

"Saya anehnya itu ada orang mau order di step-nya sih. Mau order untuk sehari itu 10 ribu step. Ngapain order step ya? Jalan juga bisa, jalan juga nggak capek ya,” ujarnya. "Ya udah diambil-ambil aja sih, jalan ini kan nggak capek-capek banget ya. Terus 10 ribu step paling berapa sih, kayak jalan doang muterin Kebun Raya, sekali putar juga sudah 10 ribu step.”

Sebelum kami berpisah, ia menyempatkan berlari mengitari Lapangan Sempur sambil menunggu temannya datang menjemput. Waktu ditanya sampai kapan ia akan berlari, Satria menjawab sampai capek. Namun, ia yakin tren joki Strava tidak akan bertahan lama. Kebanyakan orang hanya ikut tren, sedangkan yang benar-benar ingin lari tak akan memakai jasa joki Strava. 

Ketika tren joki Strava menghilang, ia yakin sudah bakal keterima kuliah dan kembali fokus belajar sambil menata masa depan lebih stabil.

>