Manuver Perdana KAMI: Hapus Ambang Batas Presiden Pilpres 2024

ERA.id - Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Refly Harun menyampaikan keputusan KAMI soal ambang batas presiden pada pemilu 2024. Mereka ingin ambang batas presiden dihapus.

"Tanggal 26 Agustus, KAMI bertemu dan berkumpul diantara deklarator. Jumlah deklarator 150, yang hadir mungkin hampir 100 orang membicarakan banyak hal. Salah satu yang dibicarakan mengenai KAMI sepakat menghilangkan presidential treshold," kata Refly dalam akun Youtube Refly Harun dikutip Sabtu, (29/8/2020).

Ia menjelaskan UU nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu mengatur soal presidential treshol atau ambang batas presiden yang ditentukan 20 persen kursi di DPR RI atau 25 persen suara nasional dalam pemilu legislatif. Saat ini di parlemen ada 9 partai politik mulai dari PDIP hingga PPP.

"9 partai ini berhak mengajukan capres dan cawapres kalau basisnya kursi 20 persen. Kalau basisnya suara maka yang berhak ditambah lagi 7 partai yaitu PBB, Hanura, PKPI, Partai Garuda, Partai Berkarya, PSI dan Perindo," kata Refly.

Ia menambahkan 16 partai politik tersebut berhak mengajukan capres dan cawapres bila menggunakan basis suara. Tapi secara lazim, basis utama akan ditentukan jumlah kursi karena partai-partai ini yang berkuasa di parlemen.

"Dalam pertemuan di Sentul, KAMI mengatakan tidak setuju dengan penerapan presidential tereshold, dan menginginkan treshold nol persen, sesungguhnya tanpa ambang batas," kata Refly. 

Menurutnya, bila tanpa ada ambang batas presiden, maka aturan akan kembali pada Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.

"Dengan ketentuan ini maka sepanjang partai itu menjadi peserta pemilu maka dia bisa mengajukan capres dan cawapres. Ini jah lebih demokrasi," kata Refly.

Ia mengklaim usulan ini banyak diusung kelompok masyarakat lainnya. Termasuk akademisi, pengamat pemilu, dan lainnya. Bisa dikatakan hanya parta-partai di parlemen yang menolak gagasan tersebut.

"KAMI melihat dua aspek kenapa presidential treshold harus dihapuskan," kata Refly.

Pertama, aspek konstitusi atau aspek hukum. Berdasarkan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit diatur soal hak mengajukan kandidat presiden milik peserta  pemilu. Karena itu harusnya partai yang bersangkutan bisa mengajukan capres dan cawapres. 

"Untuk menjadi peserta pemilu tak gampang juga. Harus memiliki keterwakilan di 100 persen provinsi, di 75 persen kabupaten kota, dan dari 75 persen kabupaten kota 50 persen kecamatan, ada keterwakilan perempuan, dan kantor tetap, serta keanggotaan," katanya.

Menurutnya, untuk mencapai syarat di atas, harus dilakukan dengan 'berdarah-darah'. Maka sebenarnya tak masalah bila mereka diganjar kesempatan ikut pilpres. Apalagi juga tak bertentangan dengan konstitusi.

"Bahkan konstitusi memberikan kesempatan bagi peserta pemilu untuk mengajukan presiden," kata Refly.

Ia menilai adanya ambang batas presiden harus inkonstitusional. Tapi Mahkamah Konstitusi belum memutuskan demikian. Lalu alasan lain, dampak buruk ambang batas presiden memunculkan candidacy buying.

"Parpol bisa menyewakan partainya sebagai perahu," kata Refly. 

Ia melanjutkan ambang batas presiden 'diakali' untuk menghilangkan pesaing di tahap awal. Sehingga tak sembarang parpol bisa mengajukan pasangan calon.

"Bahkan kalau tekniknya memborong semua parpol, maka bisa dipastikan tidak akan ada calon lebih dari dua pasangan," kata Refly.