Kapok 'Tertipu', Menkes Jalankan Vaksinasi COVID-19 Berdasar Data KPU

ERA.id - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengaku kapok tertipu data milik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kala menjalankan program vaksinasi COVID-19.

Menurutnya, data dari kementerian yang sekarang dipimpinnya itu tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Akibatnya, hal itu menghambat strategi vaksinasi COVID-19 yang sudah dipersiapkan pemerintah.

"Saya akan perbaiki strategi vaksinasinya, supaya tidak salah. Saya sudah kapok nggak mau lagi pakai datanya Kementerian Kesehatan," ujar Budi seperti dikutip dari acara diskusi 'Vaksin dan Kita' di kanal YouTube PRMN SuCi, Sabtu (23/1/2021).

Budi mengatakan, ketimbang memakai data dari Kemenkes, dia lebih memilih menggunakan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dinilai lebih sesuai kondisi di lapangan. Data milik KPU ini akan dijadikan sebagai acuan untuk pendataan penerima vaksin COVID-19.

Apalagi, KPU baru saja selesai menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada Desember 2020. Sehingga, data dari KPU, menurut Budi lebih aktual.

"Aku ambil datanya KPU. Sudah lah kita ambil KPU manual, kemarin kan baru pemilihan (Pilkada serentak 2020), itu yang paling current (terkini). Jadi aku ambil data KPU basenya untuk rakyat (usia) di atas 17 tahun," ungkap Budi.

Data Rancu Kemenkes

Dalam acara dialog tersebut, Budi membeberkan beberapa kekacauan data yang dimiliki Kemenkes. Misalnya, data soal jumlah puskesmas dan rumah sakit (RS) untuk pelaksanaan program vaksinasi COVID-19.

Budi mengaku, berdasarkan data Kemenkes yang disodorkan kepadanya, secara agregat disebutkan total jumlah puskesmas dan RS milik pemerintah sangat cukup untuk melaksanakan program vaksinasi. Bahkan dengan data itu, Kemenkes cukup percaya diri tidak melibatkan RS milik swasta untuk membantu.

"Ini dibilang secara agregat cukup jumlah puskesmas sama RS buat nyuntik (vaksinasi COVID-19). RS pemerintah aja, nggak usah ngelibatin RS Pemda, tidak usah bikin dengan RS swasta, cukup," kata Budi.

Namun, setelah dia menelusuri data fasilitas kesehatan mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten dan kota, terungkap bahwa sarana kesehatan yang ada tidak mencukupi.

Dia bahkan mengatakan, jika hanya mengandalkan Puskesmas dan RS milik pemerintah seperti data milik Kemenkes, bisa saja program vaksinasi COVID-19 baru selesai terlaksana setelah delapan tahun.

"Ah aku kapok, nggak mau dua kali ketipu. Aku lihat semua (data fasilitas kesehatan), ya ternyata enggak sih. Itu 60 persen nggak cukup. Kalau Bandung bisa nyuntiknya (jumlah RS dan Puskesmas banyak)," kata Budi.

"Tapi begitu di Puncak Jaya, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, baru 3.000 hari atau delapan tahun baru selesai (vaksinasi COVID-19) karena fasilitasnya nggak ada," imbuhnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan, program vaksinasi COVID-19 seharusnya bisa diselesaikan dalam waktu kurang dari satu tahun. Sebab, menurut perhitungannya, Indonesia memiliki sarana kesehatan dan vaksinator yang memadai, salah satunya adalah keberadaan 10.000 puskesmas.

"Kita punya kekuatan kurang lebih 30.000 vaksinator, ada kurang lebih 10.000 Puskesmas, ada kurang lebih 3.000 rumah sakit yang bisa kita gerakan. Negara lain nggak punya Puskesmas, kita miliki," kata Jokowi dalam acara yang digelar Kompas secara virtual, Kamis (21/1/2021).

Jokowi juga menambahkan, jika satu vaksinator dapat menyuntik vaksin kepada 30 orang per hari, maka total penduduk yang sudah disuntik vaksin dalam satu hari bisa mencapai satu juta.

"Ini angka yang besar sekali, ini kekuatan kita ada di sino. Oleh sebab itu, terus kita dorong. Ini kenapa pernah saya bilang sebetulnya tidak ada setahun harusnya vaksinasi bisa kita selesaikan," tegasnya.