Aprilia Manganang Ingatkan Kita kepada Karnah Sukarta, Atlet Asian Games yang Berubah Jadi Iwan Setiawan
ERA.id - Gadis 18 tahun itu, Karnah Sukarta, terlihat sumringah dengan medali perunggu Asian Games Tokyo 1958 terkalung di lehernya. Tiba di Tanah Air, ia dipuja-puji dan disanjung sebagai 'pahlawan'.
Namun, itu hanya sekejap. Menyusul sebuah skandal suap, Karnah dirongrong situasi prahara 1965 hingga masalah fisik langka yang membuatnya harus berganti kelamin menjadi laki-laki.
Asian Games 1958
Jalan menuju ketenaran Karnah Sukarta dimulai di arena atletik Asian Games III di Tokyo, 1958. Ia, yang berangkat bersama 18 atlet Indonesia lainnya, kala itu berhasil meraih medali perunggu di cabang atletik nomor lempar lembing putri. Kala itu rekor lemparannya (45,03) hanya disaingi oleh Elizabeth Davenport dari India dan Yoriko Shida (Jepang).
Prestasi ini menjadi raihan terbaik kontingen Indonesia sejak gelaran pertama Asian Games (New Delhi, 1951), dan baru terpatahkan dalam Asian Games IV di Jakarta. Di Jakarta, kontingen Indonesia berhasil menjadi runner-up klasemen akhir Asian Games.
Di momen emas olahraga Indonesia tahun 1958, Karnah dan sesama atlet pun pulang ke Tanah Air dengan disambut gegap gempita. Koran Pikiran Rakyat (5/7/1958) memaparkan bagaimana mereka diundang oleh para pejabat daerah, juga oleh Presiden Soekarno sendiri.
Karnah, yang lahir dan besar di Ciamis, Jawa Barat, pun mendapat tempat tersendiri di hati warga kampung halamannya. Wanita yang lahir pada 1 Februari 1940 ini kabarnya diantar khusus oleh perwira Siliwangi Letkol Rivai menggunakan mobil Cabriolet Deluxe. Ia diarak dari Stasiun Bandung hingga ke Balai Kota.
Di Ciamis, iring-iringan kendaraan militer mengarak Karnah dari Tarogong, Ciamis hingga Pendopo Tasikmalaya. Euforia begitu kentara sampai-sampai Karnah Sukarta diusulkan menjadi tokoh Ciamis dan perlu dibuatkan tugu peringatan, seperti ditulis di Bintang Timur, (4/7/1958).
Namun, gegap gempita itu dengan cepat akan lenyap seperti asap, tak berbekas.
Skors Hingga Terlibat Gerwani
Asian Games 1958 ternyata menjadi momen terakhirnya membawa nama negara ke kancah olahraga internasional. Pasalnya, satu tahun kemudian ia menerima skors dari Gabungan Atletik Bandung (GABA) terkait sebuah dugaan suap.
Saat itu, Karnah Sukarta dituduh menerima sejumlah uang, suatu hal yang tidak ia pungkiri. Namun, ia membantah uang tersebut terkait dengan suatu kompetisi. Ditulis di Historia, ia menyebut uang itu didapat dari sejumlah pihak guna membiayai studinya di Sekolah Guru Pendidikan Djasmani (SGPD) Bandung hingga ke IKIP Bandung.
Tak bisa lagi bertanding, Karnah pun memilih fokus berkuliah, dan lantas terlibat dalam aktivitas kemahasiswaan. Ia tercatat sebagai anggota Dewan Mahasiswa (Dema) IKIP sejak 1962 dan kerap menjadi aktivis serta memberi orasi. Disebut sangat mengagumi Bung Karno, Karnah Sukarta juga dikabarkan ikut ke Gerwani, organisasi underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bergerak di bidang aktivisme perempuan, di Kawali, Ciamis.
Seperti bisa diperkirakan, prahara 1965 pun seakan memutarbalikkan kehidupan Karnah. Historia menulis ia ditahan aparat di Banjaran awal November 1965, kemudian dipenjara di Kebonwaru, Bandung, selama kurang dari satu tahun.
Penahanan itu pun tak bisa dilepaskan dari warga kampung di Ciamis yang dulu pernah mengelu-elukannya. Di pengujung tahun 1965 itu caci maki dan kebencian terarah pada Karnah. Rumahnya di Bandung sempat dibakar massa. Piagam penghargaan dan sertifikat ikut hangus jadi abu.
Karnah akhirnya bebas dari Kebonwaru pada 1966. Namun, pemenjaraan itu bukan untuk yang terkahir kalinya. Pasca peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974, ia ikut dijebloskan ke penjara karena menjadi salah satu orang yang terlibat di dalamnya.
Menjadi Iwan Setiawan
Masalah belum selesai di situ untuk Karnah Sukarta. Sebelum tahun 1980, Karnah tercatat sudah pernah dua kali menikah. Rumah tangga pertamanya dengan Karya Natasasmita kandas karena situasi politik kala itu. Sementara, pernikahan keduanya dengan Ganda Atmadja hanya berlangsung 1 tahun dan harus berakhir karena suatu peristiwa langka.
Berawal dari kunjungannya ke makam Bung Karno pada 1979, Karnah Sukarta, sang perempuan asal Ciamis itu, bermimpi akan menikah dengan perempuan. Belakangan ia ketahui bahwa ia mengalami suatu perubahan fisik langka: dari perempuan, tubuhnya termasuk alat kelaminnya lambat laun berubah menjadi laki-laki.
Sebagai akibat kondisi medis langka tersebut, Karnah pun mengubah namanya menjadi Iwan Setiawan. Satu tahun kemudian ia menikah dengan seorang perempuan bernama Tuti Pudjiastuti dan dikaruniai seorang putra.
Di titik itu, gaung prestasi atlet 'Karnah Sukarta' di Asian Games 1958 seakan sudah hilang. Dari seorang 'pahlawan' di Jawa Borot, sosoknya, yang kemudian bernama Iwan Setiawan, harus menghidupi keluarganya dengan susah payah. Ia bahkan sempat menjadi buruh tani di Dusun Noong, Ciamis, seperti ditulis Historia.
Penghargaan yang layak pada Iwan Setiawan, alias Karnah Sukarta, baru terjadi pada tahun 2007. Kala itu Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam sebuah upacara memberi bantuan berupa uang dan rumah kepada Iwan dan sejumlah atlet yang telah berjasa mengharumkan nama Indonesia.