Dibilang Bukan Anak Kiai oleh KH Najih Maimoen, Ini Fakta Menarik Gus Miftah, Ternyata Keturunan Ulama Besar
ERA.id - Nama pendakwah Miftah Maulana Habiburrahman atau yang akrab disapa Gus Miftah selalu jadi perbincangan. Selain karena gayanya yang nyentrik, dengan kacamata hitam, belangkon, dan rambut gondrong, cara berdakwah Gus Miftah dianggap tak biasa.
Pria kelahiran Lampung, 5 Agustus 1981 itu kerap berdakwah di kalangan yang jarang terjamah pada da'i seperti kelab malam hingga salon plus-plus.
Belakangan nama Gus Miftah kembali ramai diperbincangkan usai dirinya melakukan orasi kebangsaan di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Amanat Agung di Penjaringan, Jakarta Utara pada Mei 2021.
KH Muhammad Najih Maimun atau Gus Najih, putra KH Maimoen Zubair pun membuat pernyataan yang tak kalah menghebohkan. Ia menyebut bahwa Gus Miftah bukan anak kiai dan tak pantas menyandang gelar "Gus". Benarkah demikian?
Berikut fakta menarik tentang sosok Gus Miftah yang berhasil dirangkum tim ERA.id dari berbagai sumber.
1. Hijrah ke Yogyakarta
Gus Miftah tercatat merupakan lulusan santri di Pondok Pesantren Bustanul Ulum Jayasakti, Lampung Tengah.
Dikutip dari laduni.id, setelah menyelesaikan jenjang Madrasah Aliyah (setara SMA) dengan predikat peraih nem tertinggi sebagai santri madrasah se-Provinsi Lampung, selanjutnya kyai asal Ponorogo kelahiran Lampung ini hijrah pada tahun 1999 ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ia mendaftar di kampus UIN Sunan Kalijaga fakultas Tarbiyah Jurusan Kependidikan Islam.
Namanya Gus Miftah mulai diperbincangkan publik ketika video dirinya viral saat memberikan pengajian di salah satu kelab malam di Bali. Dai jebolan Pegerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu kemudian dikenal sebagai ulama muda Nahdlatul Ulama (NU) yang fokus berdakwah bagi kaum marjinal, baik melalui dakwah di dalam maupun di luar pesantren.
2. Dakwah di Kelab Malam
Perjalanan dakwah Gus Miftah dimulai saat usianya masih 21 tahun. Pada sekitar tahun 2000-an, Gus Miftah yang sering salat tahajud di sebuah musala sekitar Sarkem, sebuah area lokalisasi di Yogyakarta, kemudian berniatan berdakwah. Saat itu ia ditemani Gunardi atau Gun Jack sosok yang menjadi penguasa pada saat itu.
Kajian agama mulai rutin digelar oleh Gus Miftah. Meski awalnya banyak tantangan, namun lama kelamaan banyak pekerja dunia malam yang menerima kehadirannya. Tidak jarang, ketika pengajian sejumlah jemaah meneteskan air mata dan mulai mengubah perilakunya secara perlahan.
Perjalanan dakwah Gus Miftah kemudian berlanjut ke kelab malam dan juga salon plus-plus. Awalnya ia masuk lantaran mendapati keluh kesah para pekerja dunia malam yang kesulitan mendapat akses kajian agama. Ketika hendak mengaji di luar mereka mengaku menjadi bahan pergunjingan. Sebaliknya di tempat kerjanya tidak ada kajian agama yang bisa didapatkan.
Meski dulu kerap pernah mendapat penolakan ketika hendak memberi kajian, kini banyak pekerja malam yang malah merasa butuh untuk mendapat pengajian. Tidak jarang beberapa banyak pekerja malam kemudian berhijrah menjadi lebih baik. Sejak lima tahun terakhir langkah Gus Mftah pun didukung oleh ulama kharismatik asal Pekalongan, Habib Luthfi bin Yahya.
3. Keturunan Ulama Besar
Setelah orasi kebangsaan Gus Miftah di GBI Penjaringan Jakarta Utara, beberapa waktu lalu, sejumlah pihak menyoroti kehadiran Gus Miftah di dunia dakwah. Salah satunya putra KH Maimoen Zubair yakni KH Muhammad Najih Maimun atau Gus Najih. Selain mengkritik orasi kebangsaan Gus Miftah di Gereja, Gus Najih juga menyebut bahwa Gus Miftah bukan merupakan anak kiai dan tak pantas disebut "Gus".
Berbeda dengan pernyataan Gus Najih, dilansir dari laduni.id, Gus Miftah ternyata keturunan ke-9 Kiai Ageng Hasan Besari, pendiri Pesantren Tegalsari di Ponorogo.
Kiai Ageng Besari sendiri merupakan tokoh penyebar Islam di Ponorogo pada abad ke-17. Ia dikenal mahaguru para Raja Jawa. Kiai Ageng Besari merupakan kakek dari Kiai Muhammad Hasan Besari, ulama abad ke-18 yang disebut Gus Dur sebagai monumen perpaduan antara Islam dan nasionalisme, demikian dikutip dari laman nu.or.id.
Pendiri Nahdlatul Ulama Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari juga keturunan dari Kiai Ageng Muhammad Besari dari jalur Kiai Basyariyah Sewulan, Kabupaten Madiun, yang menjadi menantu Kiai Bin Umar Banjarsari.
Disebutkan pula bahwa dari garis keturunan Kiai Ageng Besari pula kelak lahir sosok Sultan Kartasura, yakni Pakunuwono II, Begawan Kasultanan Kartasura Raden Ngabehi Ronggowarsito, dan tokoh pergerakan kemerdekaan HOS Tjokroaminoto. Pendiri Pondok Pesantren Tremas Pacitan, KH Abdul Mannan, juga pernah nyantri di Tegalsari.
4. Pendiri Ponpes Ora Aji
Gus Miftah merupakan pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Ora Aji di Dusun Tundan, Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.
Tak seperti ponpes lain yang biasa menggunakan bahasa Arab atau mengambil nama seorang tokoh untuk menamakan pesantren, Gus Miftah punya tujuan tersendiri menamakan pesantrennya Ora Aji. Ora Aji sendiri berarti tak berarti. Bukan sekadar nama, ada filosofinya, yakni bahwa tak ada seorang pun yang berarti di mata Allah selain ketakwaannya.
Sejak berdiri pada 2011, Ponpes Ora Aji milik Gus Miftah tak pernah memungut biasa sepeser pun untuk para santri yang ingin mondok alias gratis.
Ponpes ini juga jadi saksi sejarah mualafnya Deddy Corbuzier. Di tempat ini juga ia menuntun Deddy Corbuzier dalam prosesi pengucapan syahadat.
Tak cuma Deddy, Gus Miftah juga ternyata dikenal di kalangan artis dan juga pejabat-pejabat negara. Beberapa seleb pernah mengunjungi pondok pesantrennya di antaranya Cinta Penelope, Anang-Ashanty, Ustaz Yusuf Mansur hingga Opick. Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo juga pernah ke pesantrennya.