Kisah Fatimah, Garuda Betina dari Timur yang Berani Bentrok dengan VOC

| 19 Jan 2021 19:00
Kisah Fatimah, Garuda Betina dari Timur yang Berani Bentrok dengan VOC
Ilustrasi lukisan saat terjadi Perang Makassar (Wikimedia Commons).

ERA.id - Ada banyak sekali perempuan yang patut dijadikan panutan dalam hal patriotiknya. Namun, sayang, tak semuanya bisa diekspose. Di antara jumlah yang banyak itu, masuk sosok perempuan yang berasal dari Kerajaan Gowa, namanya I Fatimah Daeng Takontu.

I Fatimah Daeng Takontu merupakan putri Raja Gowa XVI, Sultan Hasanuddin. Seperti Malahayati, I Fatimah merupakan perempuan yang memimpin kaumnya untuk berperang melawan kolonialis yang bersatu dalam Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).

Kalau ayah I Fatimah Daeng Takontu, yakni Sultan Hasanuddin, dijuluki oleh Belanda “Ayam Jantan dari Timur” karena keberaniannya. Maka I Fatimah digelari oleh seorang penyair Belanda dengan nama “Garuda Betina dari Timur”.

Julukan yang diberikan itu, menurut salah seorang budayawan Gowa Djufri Tenribali, bukan karena kebangsawanan Fatimah, tetapi karena sifat ksatrianya yang menonjol.

Masa kecil Fatimah Daeng Takontu

Dalam resensi buku “Profil Sejarah, Budaya, dan Pariwisata Gowa”, Fatimah disebut lahir dari buah pernikahan Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin dengan gadis bangsawan dari Sanrobone, I Daeng Takele.

I Fatimah Daeng Takontu lahir pada tanggal 10 September 1659, dengan nama lengkap I Fatimah Daeng Takontu Karaeng Campagaya.

Sewaktu kecil, memang I Fatimah dikenal sangat lengket dengan ayahnya, bahkan setiap Sultan Hasanuddin melatih prajurit perangnya, Fatimah selalu ikut melihat. Hingga akhirnya, Fatimah mewarisi jiwa patriotik ayahnya yang juga menguasai ilmu bela diri.

Keinginan Fatimah untuk berjuang mengusir Belanda diawali saat sang ayah, Sultan Hasanuddin menandatangani perjanjian Bungaya. Perjanjian damai tersebut dianggap menguntungkan Belanda dan membuka kesempatan kolonial untuk melakukan monopoli dagang.

Perjanjian tersebut sontak ditolak sejumlah bangsawan Gowa dan Bugis. Di antaranya anak Sultan Hasanuddin, I Manninrori Karaeng Galesong, bersama Karaeng Bontomarannu, dan Karaeng Karunrung yang menolak keras secara terang-terangan.

Fatimah bersama Pasukan Bainea

Penolakan terhadap perjanjian Bungaya itu, lalu menimbulkan gejolak di internal Kerajaan Gowa. Putra Sultan Hasanuddin, Manninrori Karaeng Galesong, bersama Karaeng Bontomarannu lalu berangkat ke Jawa untuk melanjutkan perjuangan mereka. Sedangkan Karaeng Karunrung disarankan tetap tinggal di Gowa, memimpin sisa-sisa laskar Gowa yang masih melawan.

Fatimah yang mendengar kalau Gowa sedang dalam masalah, penuh semangat meminta pada ayahnya, Sultan Hasanuddin untuk menyusul sang kakak ke Pulau Jawa.

Keinginan Fatimah itu ternyata tidak disetujui. Fatimah awalnya hanya menyaksikan rombongan yang dipimpin Karaeng Bontomarannu bersama 800 orang prajuritnya berangkat ke Banten.

Rombongan itu tiba tanggal 19 Agustus 1671 di Banten, disusul La Setiaraja dari Kerajaan Luwu dan Karaeng Galesong pada tanggal 16 September 1671 dengan membawa 20.000 orang prajurit.

Kedatangan putra pejuang dari Sulawesi di Banten, ternyata mendapat sambutan baik dari Sultan Banten yakni Sultan Ageng Tirtayasa karena sebelumnya, salah seorang putra Makassar telah lama dijadikan mantu yakni, Syekh Yusuf yang sudah ikut berjuang bersamanya.

I Fatimah Daeng Takontu yang terus meminta agar ia dibolehkan untuk turun gelanggang demi melawan kolonialisme Belanda, akhirnya mendapat hasil. Ia diizinkan oleh ibunya, dan saat itu ia dibekali dengan keris. Bahkan dalam beberapa sumber lain, I Fatimah Daeng Takontu disebut memakai senjata bernama balira untuk melawan penjajah.

“Keberangkatan terjadi beberapa bulan setelah Sultan Hasanuddin wafat. I Fatimah diikuti oleh para ratusan pasukan elite menuju Banten. Di antara pasukan yang dipimpin I Fatimah, terdapat banyak wanita yang dikenal sebagai Pasukan Bainea (pasukan wanita), yaitu semacam srikandi membantu perjuangan raja Gowa,” seperti yang ditulis dalam buku “Profil Sejarah, Budaya, dan Pariwisata Gowa”. Buku tersebut ditulis oleh Akademisi Unhas, Adi Suryadi Culla, Zainuddin Tika, dan mantan Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Dijelaskan, saat tiba di Jawa, I Fatimah bergabung bersama semua kekuatan pasukan, dan menyusun strategi untuk bertempur dengan Belanda. Saat itu, Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu bertugas ke Jawa Timur membantu perjuangan Trunojoyo. Penyerahan pasukan Kraton Plered pada 12 Juli 1677 membuat Benteng Kapper berhasil mereka duduki.

Sedang di Banten Pasukan Syekh Yusuf dan Pasukan I Fatimah ikut membantu raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa, melawan putranya sendiri yakni Sultan Haji yang berpihak pada Belanda. Perlawanan pasukan Syekh Yusuf dan pasukan Bainea yang dipimpin Fatimah, membuat kewalahan Belanda.

Berkali-kali Belanda berusaha untuk menangkap Syekh Yusuf dan Fatimah, namun belum berhasil. Akhirnya, Syekh Yusuf tertangkap dan diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka), dan kemudian dipindahkan ke Tajung Harapan, Afrika.

Melihat kondisi yang kurang menguntungkan menghadapi Belanda, akibat kekalahan pasukan Banten yang bersekutu dengan pasukan Kerajaan Gowa, Fatimah bersama pasukan Bainea lalu kembali ke Gowa dan meneruskan perjuangannya melawan Belanda.

Dalam suatu pertempuran, Fatimah bersama pasukannya menyerang Belanda. Dalam pertempuran itulah, Fatimah gugur di tanah kelahirannya. Demikianlah, I Fatimah Daeng Takontu wafat sebagai pahlawan yang bersedia mengorbankan jiwa dan raganya dalam membela kedaulatan tanah air dari cengkeraman Belanda.

Rekomendasi