ERA.id - Kawasan Kota Tua Jakarta tampak lengang ketika saya berkunjung ke sana 17 Januari lalu. Rabu sore itu hujan turun rintik-rintik dan saya berteduh di Toko Merah sambil memesan minuman hangat dan kentang goreng di kafe RODE Winkel.
Banyak tulisan yang tersebar di internet mengaitkannya dengan cerita mistis seperti penampakan Noni Belanda. Namun, kini bangunan yang menjadi saksi bisu pembantaian etnis Tionghoa di Batavia itu tak lagi menyisakan kesan seram. Tak tersisa bau anyir darah di dalam maupun sepanjang Jalan Kali Besar.
Toko Merah bersebelahan dengan Kantor Pajak Tambora dan bersebrangan dengan Kali Krukut yang membelah Jalan Kali Besar Timur dan Barat. Kali itu dihubungkan dengan Jembatan Merah yang lega.
Segala penyebutan “merah” itu bukan hanya mengingatkan saya dengan warna keberuntungan orang Cina, tetapi juga warna darah mereka yang dulu membasahi sebagian tanah Batavia. Tumpahnya darah itu terekam dalam peristiwa tragis yang kelak kita kenang sebagai "Geger Pecinan".
Papan petunjuk di depan Toko Merah menyebutkan bangunan berusia ratusan tahun ini sudah belasan kali berganti pemilik dan fungsi. Awalnya, bangunan ini merupakan rumah tinggal mantan Gubernur Hindia Belanda hingga kini menjadi kafe estetik bernama RODE Winkel. Namun, perputaran roda zaman tak banyak mengubah wujud bangunan dengan paduan arsitektur klasik Eropa dan sentuhan ornamen Cina itu.
Mula-mula, Toko Merah merupakan bangunan kembar dua lantai yang didirikan Baron van Imhoff tahun 1730 untuk tempat tinggalnya. Waktu itu ia masih jadi opperkoopman alias saudagar kepala di Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Dan dulu Toko Merah belum berwarna merah, tapi bercat putih di sekujur temboknya.
Barulah pada pertengahan abad ke-19 bangunan ini diambilalih saudagar Cina, Oey Liauw Kong dan dialihfungsikan sebagai toko dengan cat merah di tiap kusen dan jendelanya. Setelah itu orang-orang mulai menyebutnya Toko Merah.
Namun, ada pula yang beranggapan Toko Merah dinamakan demikian usai pembantaian keturunan Cina di Batavia waktu Geger Pecinan tahun 1740. Kali Besar menjadi berwarna merah akibat tumpukan mayat keturunan Cina dibuang ke sana.
“Siapa aja orang Cina yang ketemu sama orang serdadu VOC waktu itu ya dibantai, mau anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, itu semua enggak pandang bulu,” ujar pegiat sejarah Mazzini yang menemani saya di Toko Merah.
Berawal dari kejatuhan pabrik gula, berujung ke pembantaian
“Tiba-tiba kami mendengar sesuatu yang menimbulkan ketakutan luar biasa. Tidak ada yang terdengar kecuali tangisan pembunuhan dan pemerkosaan tak terkendali yang paling kejam: Pria Cina, wanita, dan anak-anak, semua ditikam pedang. Baik wanita hamil maupun bayi yang digendong tak terselamatkan. Tawanan yang dirantai besi, berjumlah sekitar 100 orang, dipotong lehernya seperti domba. Orang Cina kaya disediakan tempat tinggal oleh Belanda, lalu dibunuh di hari yang sama. Singkatnya, bangsa Cina nyaris sepenuhnya dibantai hari itu, bersalah atau tidak, tak pandang bulu.”
Begitu kesaksian Ary Huysers dalam buku karangan Leonard Blussé, “Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women and Dutch in VOC Batavia”. Ary merupakan seorang pedagang di Batavia yang turut menyaksikan pembantaian orang Cina pada Oktober 1740 itu.
Pada waktu itu, kawasan Kota Tua dikelilingi tembok kokoh untuk menghalau serangan musuh. Dalam tulisan “280 Tahun Geger Pecinan”, penulis NatGeo Indonesia Fikri Muhammad menggambarkan suasana dalam tembok kota yang mencekam pada 9 Oktober 1740, di mana para serdadu VOC, kelasi, tukang galangan kapal, serentak turun ke jalan menenteng belati, golok, pedang, kapak, hingga pistol. Tujuan mereka satu: Membantai orang Cina.
“Sekitar 5.000 orang Cina yang bermukim di dalam tembok kota telah binasa," tulisnya.
Bagaimana tragedi kemanusiaan itu bisa terjadi? Menurut buku “Batavia 1740”, tragedi itu bermula dari kedatangan imigran Cina dan jatuhnya industri gula sekitar tahun 1730-an.
Sebelumnya, Batavia terkenal dengan pabrik gulanya yang melimpah. Ada sekitar 130 penggilingan tebu di daerah ommelanden (luar benteng kota di sekitar Kali Besar) pada tahun 1710. Pada masa itu, kapitan-kapitan Cina banyak merangkap sebagai pengusaha tebu, salah satunya Ni Hoe Kong yang punya 14 penggilingan tebu di atas tanah milik ayahnya yang tersebar di Batavia.
Gelombang kedatangan orang-orang Cina Hokkian tak terelakkan seiring masa keemasan ekonomi Batavia. Gubernur Jenderal VOC kala itu, Adrian Valckenier membiarkan mereka masuk karena meyakini etos kerja orang Cina dapat ikut menumbuhkan perekonomian kota. Sayangnya, tahun 1730 harga gula dunia merosot, dan industri gula seketika berada di ujung kebangkrutan.
Satu demi satu pabrik gula terpaksa tutup. Pengangguran terus berlipat ganda dan api kekacauan akibat ekonomi jatuh mulai membara. Kriminalitas terjadi di mana-mana. Pemerintah menganggap suasana dalam kota tak lagi kondusif. Tanggal 25 Juli 1740, Dewan Hindia bersidang dan mengeluarkan resolusi untuk memberangus akar masalah, yaitu melimpahnya pendatang Cina yang jadi gelandangan.
Baron van Imhoff, pemilik awal Toko Merah, menjabat sebagai Ketua Dewan Hindia saat itu. Ia menyarankan para Cina gelandangan diboyong ke Sri Lanka untuk dipekerjakan di perkebunan. Para anggota dewan sepakat. Rencana mulai dijalankan dalam tempo singkat dan sewenang-wenang.
Isu liar beredar bahwa pendatang Cina yang dibawa kapal ke Sri Lanka diceburkan di tengah laut. Kabar itu berembus ke kuping-kuping orang Cina yang masih bermukim di Batavia dan memunculkan kekhawatiran sekaligus kemarahan. Orang-orang mulai was-was dan menyiapkan perlawanan. Hingga akhirnya sebagian mereka berkumpul di gudang milik Nie Hoe Kong, membangun kekuatan dan pasukan. Pada 7 Oktober, dipimpin oleh seorang bernama Kapitan Sepanjang atau Khe Pandjang, mereka menyerang Batavia dan berusaha menembus benteng kota.
Kisah itu diabadikan penyair Abdul Rahman dalam “Syair Hemop” berbahasa Banjar.
Si Pandjang itoe kapitan Tjina (Si Pandjang itu Kapitan Cina)
Gagah berani lagi laksana (Gagah berani sifatnya)
Terlaloe sangat tebal koelitnja (Terlalu sangat tebal kulitnya)
Mirah jang baik ada dipakainja (Mirah yang baik dipakainya)
Kapitan Pandjang gagah berani (Kapitan Pandjang gagah berani)
Menaroehkan pedang dalam peti (Meletakkan pedang dalam peti)
Sekalian Tjina diberinja djandji (Orang-orang Cina ia beri janji)
Ketika wajang mengamoek Kompeni (Ketika wayang mengamuk Kompeni)
Valckenier panik mengetahui serangan orang-orang Cina ke wilayah kekuasaannya. Ia khawatir para pemberontak bergabung dengan orang-orang Cina di kota dan menimbulkan kerusakan lebih luas. Karena itu, ia memutuskan orang-orang Cina dalam benteng lebih baik dihabisi sekalian.
Dua hari pasca serangan Kapitan Sepanjang, Valckenier menyerukan perintah pembunuhan seluruh orang Cina di Batavia. Ia mengumumkan siapa saja yang bisa memberi kepala orang Cina, akan diberi hadiah.
"Balai Kota Batavia berubah seperti rumah potong hewan. Warga Cina disembelih dan mayat mereka dibiarkan mengambang di sepanjang jaringan kanal," ungkap tulisan “280 Tahun Geger Pecinan”.
Tak ada angka pasti berapa korban tewas dibantai waktu itu. Diperkirakan setidaknya 10.000 orang Cina tumpah darahnya membanjiri Batavia. Sebagian kecil yang selamat dari peristiwa itu kabur keluar kota.
Konon, pembantaian itu juga yang menjadi asal muasal penamaan sejumlah tempat di Jakarta, seperti Tanah Abang atau ‘tanah merah’ yang merujuk lokasi pembunuhan orang Cina atau Rawa Bangkai dan Muara Angke di Tambora yang merujuk ke bangkai mayat korban Geger Pecinan.
Toko Merah, riwayatmu kini
Hampir 300 tahun berlalu setelah Geger Pecinan, Kawasan Kota Tua yang dulu dikelilingi benteng pertahanan dan menjadi tempat jagal orang-orang Cina kini menjadi tempat wisata orang-orang Jakarta dan luar kota. Sementara Toko Merah sudah ditiban cat merah berkali-kali dan tampak baru habis direstorasi. Pemilik pertamanya, Baron van Imhoff sudah lama mati menyusul ribuan orang Cina yang lebih dulu dibantai.
Tanpa membaca sejarah, orang-orang yang berkunjung ke sana bisa dengan tenang menikmati secangkir cokelat hangat atau makanan mewah dalam Toko Merah, tanpa tahu bangunan itu berdiri di atas darah orang-orang Cina tak bersalah. Sayangnya, masih banyak orang tak belajar dari sejarah dan memelihara sentimen negatif ke warga keturunan Cina.
Saya merenungi ironi tadi sambil jalan-jalan di trotoar sekitar Kali Krukut, melihat sepasang burung saling berkejaran di langit, dan beberapa pedagang kaki lima membuka lapak di depan Jembatan Merah. Sederet bus mengantri memasuki terminal busway Kota Tua, ada jurusan Penjaringan-Sunter hingga Pluit-Tanjung Priok. Setiap kali bus itu lewat dengan bergegas, saya bisa merasakan kaki saya bergetar.