Sejarah Keraton Surakarta dan Konflik Internal yang Terjadi

| 26 Dec 2022 21:08
Sejarah Keraton Surakarta dan Konflik Internal yang Terjadi
Keraton Surakarta (antara)

ERA.id - Keraton Kasunanan Surakarta atau Keraton Solo kembali jadi perhatian publik. Pada Jumat malam, 23 Desember 2022, konflik internal kembali terjadi. Terkait hal tersebut, sejarah Keraton Surakarta pun tak luput dari perhatian.

Kurang lebih, konflik internal Keraton Solo telah terjadi selama 18 tahun. Hal tersebut bermula saat Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat bergelar Pakubuwana XII atau PB XII meninggal pada 2004.

Sejarah Keraton Surakarta

Keraton Kasunanan Surakarta merupakan pecahan dari Kerajaan Mataram Islam. Dikutip Era dari kebudayaan.jogjakota.go.id, awal dari perpecahan Mataram Islam adalah masa pemerintahan Pakubuwana II (Raden Mas Prabasuyasa). Pada masa tersebut, Pangeran Mangkubumi, adik Pakubuwana II tidak setuju dengan kebijakan kakaknya yang menguntungkan VOC. Mangkubumi mendapatkan dukungan dari Raden Mas Said yang ingin merebut takhta dari Pakubuwana II.

Setelah Pakubuwana II meninggal dunia pada 1749, Mangkubumi mengangkat dirinya sebagai raja Mataram Islam. Namun, hal tersebut tidak diakui oleh VOC karena VOC telah mendapatkan wewenang dari Pakubuwana II sebelum meninggal untuk mengangkat anaknya menjadi raja Mataram Islam selanjutnya.

Singkat cerita, konflik internal ini diakhiri dengan Perjanjian Giyanti 1755. Mataram Islam dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwana III dan Kasultanan Ngayogyakarta yang dipimpin oleh Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I.

Sejak saat itu, Keraton Kasunanan Surakarta terus berkembang hingga akhirnya pada 1 September 1945, Pakubuwana XII menyatakan wilayahnya bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Meski sudah menjadi bagian dari NKRI, kehidupan di dalam keraton tetap dilestarikan. Keraton tidak hanya menjadi tempat tinggal raja dan keluarga raja, melainkan menjadi pusat kegiatan adat dan kebudayaan.

Berbagai Konflik Keraton Kasunanan Surakarta

sejarah Keraton Surakarta, Solo, Surakarta, Keraton Kasunanan Surakarta, sejarah

·         Awal konflik internal

Dilansir Kompas TV, konflik internal Keraton Kasunanan Surakarta terjadi setelah Pakubuwana XII (PB XII) meninggal pada 2004. PB XII hanya memiliki beberapa selir dan tidak memiliki permaisuri. Dia juga tidak menunjuk salah satu anaknya untuk mewarisi takhta.

Konflik para anak—berbeda ibu—pun terjadi. Akhirnya masing-masing kubu mendeklarasikan diri sebagai raja. Anak tertua PB XII dari selir ketiga, Sinuhan Hangabehi, mendeklarasikan diri sebagai raja pada 31 Agustus 2004.

Dia menduduki takhta di dalam keraton dengan dukungan dari saudara satu ibunya, termasuk Gusti Moeng. Sementara, anak PB XII dari selir lain, Sinuhan Tedjowulan, menyatakan sebagai raja pada 9 November 2004. Tedjowulan mendapat dukungan saudara-saudaranya.

·         Konflik sempat mereda

Konflik Keraton Kasunanan Surakarta sempat mereda pada 2012. Pada masa tersebut, Joko Widodo (Wali Kota Surakarta) dan Mooryati Sudibyo (anggota DPR) berupaya mendamaikan kedua kubu di Jakarta.

Hasilnya, Hangabehi dan Tedjowulan sepakat berdamai dan menandatangani akta rekonsiliasi. Kesepatakan juga menjadikan Hangabehi, putra tertua PB XII, sebagai raja dengan gelar Pakubuwono XIII (PB XIII). Sementara Tedjowulan menjadi mahapatih dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Panembahan Agung.

Meski kedua pihak berselisih telah sepakat, Gusti Moeng dan saudara-saudaranya tidak sepakat dengan rekonsiliasi tersebut. Mereka kemudian mendirikan Lembaga Dewan Adat (LDA) yang menyewa pendekar untuk menyandera PB XIII dan Mahapatih.

LDA juga mengudeta PB XIII karena beranggapan bahwa PB XIII melakukan beberapa pelanggaran. LDA juga melarang PB XIII dan para pendukungnya masuk ke area Keraton Kasunanan Surakarta. PB XIII Hangabehi yang sudah bersatu dengan KGPH Panembahan Agung Tedjowulan tidak bisa bertahta di Sasana Sewaka Keraton.

·         Konflik kembali panas

Pada April 2017, konflik Keraton Kasunanan Surakarta kembali memanas. Putri PB XIII, GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani terkurung di dalam keputren (kediaman putri-putri raja) bersama beberapa abdi dalem.

Pada tahun tersebut, Joko Widodo (Jokowi) yang telah menjabat sebagai presiden RI mengutus anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres), Jenderal TNI (Purn.) Subagyo Hadisiswoyo untuk mendamaikan pihak-pihak yang berselisih.

Upaya rekonsiliasi gagal. Pada Februari 2021, konflik Kasunanan Surakarta pun kembali memanas. Kurang lebih lima orang, termasuk anak keturunan PB XII, terkurung di dalam istana.

·         Konflik kembali terjadi

Beberapa waktu lalu, konflik internal Kasunanan Surakarta kembali panas. Dilansir Kompas.com, pada Jumat malam, 23 Desember 2022 kubu PB XIII kembali berkonflik dengan kubu Gusti Moeng atau LDA.  

Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari atau Gusti Moeng mengaku menerima upaya pengusiran dari keraton oleh kubu Sasonoputro yang mengatasnamakan PB XIII. Selama ini, Keraton Solo ditinggali oleh Gusti Moeng.

Dia mengatakan, pihak Sasonoputro mengerahkan 50 orang untuk menyerbu dan mengusir keluarganya dari keraton. Insiden bermula saat rombongan 50 orang yang terdiri atas petugas keraton kubu Sasonoputro dan beberapa orang lain datang ke keraton pada pukul 21.00 WIB.

Mereka datang untuk melakukan penutupan beberapa pintu di kompleks keraton. Hal tersebut memicu perlawanan dari kubu LDA.

Itulah penjelasan singkat dari sejarah Keraton Surakarta dan konflik internal yang terjadi. Meski sempat mereda, saat ini konflik kembali memanas.

Rekomendasi