ERA.id - Suporter sepak bola di Jogja kembali meregang nyawa. Aditiya Eka Putranda, suporter PSS Sleman, meninggal dunia setelah mengalami penganiayaan Minggu (28/8) dini hari, di palang pintu kereta api Dusun Mejing Kidul, Ambarketawang, Gamping, Sleman.
Aditya salah satu dari tiga orang suporter PSS Sleman yang menjadi korban penganiayaan ketika hendak pulang setelah menonton laga PSS Sleman melawan Persebaya.
Selain Aditya yang tewas setelah dibawa ke RS PKU Gamping, korban lain yakni Ardiansyah Bagus Setiawan dan Gandung, mengalami luka sayatan dan pukulan benda tumpul.
Bupati Sleman, Kustini Sri Purnomo, menyampaikan turut berbelasungkawa sedalam-dalamnya atas peristiwa yang menimpa Aditiya.
"Saya mendoakan agar almarhum Aditiya husnul khatimah serta keluarga diberikan kekuatan dan ketabahan," kata dia, di rumab duka di Gamping, Sleman, Senin (29/8).
Pemerintah Kabupaten Sleman memberikan santunan berupa uang duka senilai Rp5 juta rupiah kepada keluarga Aditiya.
Kustini prihatin dan menyayangkan kejadian ini. Pemkab Sleman akan mengintensifkan kerjasama dengan pihak kepolisian dalam meningkatkan pengawasan untuk menghindari kejadian serupa.
"Saya mengimbau rekan-rekan suporter dan masyarakat untuk waspada ketika beraktivitas di jalan pada malam hari," katanya.
Lembaga Jogja Police Watch (JPW) pun mengutuk tindakan kekerasan yang menyebabkan Aditya.
Polres Sleman telah mengamankan sejumlah terduga pelaku pengeroyokan yang mengakibatkan Aditya meninggal dunia.
JPW menyampaikan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada seluruh fans PSS Sleman dan keluarga korban yang ditinggalkan.
"JPW berharap para pelaku bisa dihukum setimpal dan kejadian memalukan serta mengecewakan ini tidak terulang kembali. Karena meninggalnya Aditya Eka Putranda yang merupakan salah satu suporter PSS Sleman menambah daftar deretan panjang suporter sepakbola di tanah air meninggal dunia," kata Kadiv Humas JPW Baharudin Kamba.
Menurutnya, lebih baik tidak ada liga sepakbola bila harus mengorbankan nyawa manusia mengingat korban terus berjatuhan dan tidak ada sepakbola seharga nyawa manusia.
"Seluruhnya harus dievalusi secara tuntas termasuk penyelenggara karena pertandingan yang digelar malam hari sangat riskan terhadinya tindak kriminal termasuk kekerasan berupa penganiayaan di jalanan," katanya.