ERA.id - Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama, Wawan Djunaedi menyatakan bahwa kepala daerah harus memfasilitasi pembangunan setiap rumah ibadah, terlebih jika telah memenuhi sejumlah syarat.
Wawan mengatakan terkait pendirian rumah ibadah, sikap kepala daerah seharusnya merujuk pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PMB) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.
"PMB tersebut mengatur bahwa pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung," ujar Wawan Djunaedi, Jumat silam.
Pernyataan Wawan ini menanggapi perihal keikutsertaan Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dalam penandatanganan penolakan pendirian gereja. Seharusnya pimpinan daerah memenuhi hak-hak konstitusi setiap penduduk, termasuk hak beragama dan berkeyakinan.
Menurut Wawan, sesuai PMB ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi terkait pendirian rumah ibadah. Pertama, daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat.
Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Ketiga, rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.
Keempat, rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota. Jika persyaratan pertama terpenuhi sedangkan persyaratan kedua belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.
"Jadi, tidak ada alasan apapun bagi kepala daerah untuk tidak memfasilitasi ketersediaan rumah ibadat ketika calon pengguna telah mencapai 90 orang," kata dia.
Kementerian Agama, kata Wawan, mendorong wali kota untuk membentuk desk bersama yang terdiri atas kepala daerah, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Kementerian Agama, pemuka agama, tokoh masyarakat, Forkompinda, dan ormas sebagai upaya pemecahan masalah.
Dia menilai berbagai pihak perlu mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya bahwa Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK1975 tanggal 28 Maret 1975 sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan dasar penolakan pendirian gereja.
Pertama, kata Wawan, regulasi tersebut diterbitkan pada saat komposisi penduduk muslim daerah Cilegon sebesar 99 persen, sebagaimana disebutkan pada konsideran menimbang pada SK Bupati dimaksud.
Sementara situasi kota Cilegon sekarang sudah berubah. Berdasarkan data sensus BPS tahun 2010, komposisi umat nonmuslim secara keseluruhan mencapai 12,82 persen.
"Bertumpu pada data jumlah penganut agama Kristen di atas, tentu ikhtiar untuk pendirian rumah ibadah sudah memenuhi kebutuhan nyata," kata dia.
Kedua, konsideran menimbang SK Bupati tahun 1975 juga merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/BER/mdn-mag/1969 yang keberadaannya sudah dicabut dan digantikan dengan PMB Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. Dalam hukum, ada asas lex posterior derogat legi priori, yakni hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama.
"Yang berlaku saat ini adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006," kata Wawan.
Ketiga, SK Bupati tahun 1975, diterbitkan dalam konteks merespons Perguruan Mardiyuana sebagai bangunan, bukan rumah ibadah. Sementara pada waktu itu, Perguruan Mardiyuana dipergunakan sebagai gereja.
Oleh karenanya, penganut agama Kristen diarahkan untuk menunaikan ibadah di gereja-gereja yang ada di Kota Serang.
Wawan mengaku pihaknya sudah bertemu dan mendiskusikan persoalan ini dengan Wali Kota Cilegon pada April 2022. Kemenag mengimbau Pemerintah Kota Cilegon untuk memedomani Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.
"Kami juga juga mengajak FKUB sebagai lembaga kerukunan umat beragama dan seluruh komponen masyarakat untuk kembali berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku," kata dia.