ERA.id - Masih ada warga miskin yang harus makan nasi dicampur dengan garam atau bumbu penyedap rasa di di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Anggota DPR RI Dedi Mulyadi yang menemukan keluarga malang itu. "Sampai saat ini, kemiskinan masih menjadi permasalahan dasar yang terus dibenahi oleh pemerintah," kata Dedi, di Purwakarta, beberapa waktu lalu.
Ia menyampaikan cukup banyak masyarakat yang terjebak dalam kemiskinan kultural. Kemiskinan tersebut membuat mereka terjebak dalam rutinitas yang semakin terpuruk.
Seperti keluarga yang ditemukan Dedi di Kampung Sukamanah, Desa Cigelam, Kecamatan Babakan Cikao, Purwakarta. Sebuah keluarga hidup di rumah "bedeng" yang berada di lahan milik Jasa Marga berdekatan dengan jalan tol.
Sehari-hari keluarga tersebut hidup dari penghasilan kepala keluarganya, Agus Deni, yang berjualan minuman keliling di pasar malam dan acara hiburan.
Sehari mereka biasa mendapatkan uang Rp 20-50 ribu. Saat ditanya sudah makan atau belum? Mimin, ibu dari penghuni rumah bedeng itu mengaku, sudah makan dengan lauk berupa potongan timun yang dimasak bumbu kunyit, sedangkan biasanya, keluarga itu mengaku hanya makan nasi dengan garam atau penyedap rasa.
Saat ini Agus dan Mimin masih menghidupi dua anaknya yang masih kecil, satu di antaranya bersekolah SD. Sementara anak paling besar bekerja sebagai tukang parkir di "rest area" dengan penghasilan Rp30 ribu per hari.
Dedi kemudian mengecek kondisi dapur keluarga tersebut. Ternyata mereka tidak memiliki bahan pokok seperti beras dan lauk pauk. Bahkan gas untuk memasak dan air galon dalam kondisi habis.
Kondisi rumah keluarga tersebut memprihatinkan. Mereka tinggal di sebuah bedeng beralaskan tanah, berdinding triplek, dan kain sarung.
Di sisi lain Dedi melihat tetangga Mimin masih mengumpulkan kayu bakar untuk memasak. Sedangkan Mimin selama ini ia tergantung pada gas melon untuk masak dan air galon untuk minum.
Menurut Dedi, keluarga Agus dan Mimin ini adalah salah satu contoh mengapa kemiskinan masih menjamur di masyarakat Indonesia, seperti keluarga Mimin yang ketergantungan terhadap kompor gas padahal sumber daya alam untuk kayu bakar masih sangat banyak. Begitu pula air minum yang harus beli berupa galon.
"Kayu bakar tidak dipakai, kemudian pakai gas beli Rp 25-35 ribu. Air pakai galon, beli lagi, duit lagi, beras harus beli lagi, ikan harus beli lagi, listrik beli lagi, sekolah harus jajan, sedangkan duit yang dicari gak setiap hari didapat kadang Rp 20 ribu kadang Rp 50 ribu atau kadang tidak ada. Karena semua tergantung sama uang," kata Dedi.
Ia mengkritik anak-anak Mimin yang setiap hari hanya menonton tv tanpa kegiatan. Hal tersebut menimbulkan hawa lapar pada anak, namun tak ada yang bisa dimakan.
Dedi kemudian memberikan sejumlah uang kepada Mimin sebagai bekal hidup.
Ia meminta uang hasil jualan suaminya ditabung untuk tambahan modal usaha. Sementara untuk makan satu bulan ke depan bisa memanfaatkan uang yang baru saja diberi.
"Ini salah satu fenomena kehidupan. Kita tidak mungkin tahu kehidupan mereka kalau tidak masuk ke dapur mereka. Saya berulang kali ngomong gas bisa melahirkan kemiskinan yang parah kalau tidak segera diubah. Ini banyak kayu terbuang karena perubahan pola hidup. Saya setuju pakai kayu bakar karena anak-anaknya bisa keluar cari kayu bakar, efisiensi, dan menjemput rezeki yang tak diduga," kata dia.