ERA.id - Kantor Kemenag Kulonprogo mewajibkan pengantin melafalkan Pancasila dan menyanyikan Garuda Pancasila usai ijab Kabul sebagai wujud nasionalisme.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta mengkritik kebijakan tersebut karena dinilai dangkal dan tak sesuai dengan kenyataan bahwa banyak hal itu kontradiksi dengan nilai-nilai Pancasila.
“Itu bentuk banalitas, dangkal. Pancasila tidak bisa berbunyi tanpa realitas dan wujud praktiknya di realitas. Tidak semata-mata dibunyikan secara retorik,” katanya saat dihubungi ERA, Senin (14/11/2022).
Menurutnya, jika ada kebijakan seperti di Kulonprogo itu yang hanya melafalkan Pancasila, bukan tidak mungkin justru hasilnya tak sesuai keinginan pemerintah dan melahirkan bentuk penolakan dari masyarakat.
“Ketika berulang-ulang terjadi, akan ada resistensi di kalangan warga. Kebijakan itu akan menegasikan capaian yang diinginkan (warga jadi mengamalkan nilai Pancasila),” ujarnya.
Namun, menurut Abe, sapaannya, fenomena ini belum mengarah ke laku negara ultranasionalis. “Ini bentuk kesalahan dalam menerjemahkan bentuk edukasi publik. Publik butuh edukasi dengan wujud-wujud pengamalan Pancasila di sekitar mereka,” ujarnya.
Namun kata dia yang terlihat justru hal-hal yang berbeda dengan sila Pancasila. Misalnya untuk sila pertama, saat ini masih ada intoleransi terhadap warga agama lain penganut penghayat kepercayaan. “Kalau masih ada stigma ke mereka (penghayat), itu enggak Pancasilais,” ujarnya.
Di sila kedua, warga juga akan mengaitkan dan mempertanyakan misalnya hukuman koruptor yang dikorting besar-besaran. “Itu keadilnya di mana?”
Demikian pula dengan sila-sila yang lain, publik akan kritis melihat realitasnya ketimbang sekadar mengucapkan. "Ini paradoks. Realitasnya seperti itu, tapi praktiknya suruh menghafal, jadi enggak connect,” tandasnya.
Abe menyarankan pemerintah, khususnya lembaga yang menangani soal Pancasila, yakni BPIP, harus menyosialisasikan Pancasila dengan menerapkan nilai–nilai Pancasila ke dalam tindakan. “Kebijakan menghafal itu hanya akan ciptakan bebek-bebek, karena tidak ditanam di lingkungan dan kesadaran warga,” kata dia.
Apalagi jika itu jadi syarat pernikahan. “Nikah itu kan sakral. Ada ruang lain yang lebih holistik (untuk menerapkan Pancasila), bukan hanya diucapkan,” kata dia.
Menurutnya, penerapan Pancasila justru tak perlu dengan memamer-mamerkan apa yang sudah dihapal. “Justru kalau kamu Pancasila, kamu enggak akan bilang aku Pancasila. Ini mewujud dalam tindakan, bukan ucapan. Pancasila itu laku hidup, bukan laku retorik,” tuturnya.