Banjir Parah di Semarang karena Pemerintah Tak Pernah Mau Belajar?

| 01 Jan 2023 14:00
Banjir Parah di Semarang karena Pemerintah Tak Pernah Mau Belajar?
Petugas stasiun memindahkan kursi tunggu penumpang yang terendam banjir di selasar tunggu Stasiun Tawang, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (31/12/2022). (Antara)

ERA.id - Banjir melanda sejumlah kawasan di Kota Semarang dan daerah di pantura Jawa Tengah, Sabtu (31/12/2022). Bencana ini, menurut peneliti lembaga lingkungan Walhi Semarang, Iqbal Alma, tak lepas dari pembangunan yang ugal-ugalan dan minimnya mitigasi krisis iklim.

Iqbal menjelaskan, banjir tersebut juga tak lepas dari peristiwa tanggul jebol di pesisir Kota Semarang yang sudah terjadi sebanyak dua kali pada 2022 ini.

"Tanggul jebol yang pertama terjadi pada 23 Mei 2022 di daerah Tambak Mulyo dan yang kedua baru saja terjadi pada 30 Desember 2022 di kawasan Pantai Marina," jelasnya, Minggu (1/1/2023).

Dalam kurun waktu kurang lebih 7 bulan, lokasi yang berjarak sekitar 4,5 km itu sama-sama mengalami tanggul jebol akibat terjangan ombak yang kuat.

Akibatnya terjadi banjir di kawasan-kawasan tersebut dan menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial bagi warga sekitar. "Jebolnya tanggul-tanggul tadi tentu saja telah menandakan bahwa kerusakan lingkungan di kawasan pesisir Kota Semarang sudah sangat mengkhawatirkan," imbuhnya.

Pada Sabtu (31/12), sehari setelah tanggul jebol di kawasan Pantai Marina, Kota Semarang dilanda banjir usai hujan selama 12 jam tidak dapat ditampung, hingga akhirnya menutup jalan dan memasuki rumah warga.

"Peristiwa ini mengulang bencana banjir yang terjadi pada awal tahun 2021 yang lalu. Banjir sudah menjadi agenda tahunan bahkan bulanan di Kota Semarang, entah itu air yang berasal dari

rob (kenaikan air laut) atau hujan. Lokasi terjadinya pun juga tidak banyak berubah dan cenderung bertambah," tuturnya.

Selain itu krisis iklim yang kian memburuk dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan bencana hidrometeorologi meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas.

"Melihat pada bencana yang terjadi membuktikan bahwa upaya mitigasi krisis iklim di Semarang masih minim. Pemerintah seakan tidak pernah belajar dari bencana-bencana yang telah terjadi sebelumnya," kata Iqbal.

Ia menjelaskan, pembangunan kawasan industri di daerah pesisir dan alih fungsi lahan di daerah resapan air di Semarang bagian atas, justru semakin masif dilakukan.

Pembangunan kawasan industri dan infrastruktur pendukungnya telah dan akan menghilangkan ekosistem mangrove di titik pembangunan dan sekitarnya.

"Padahal, ekosistem mangrove memiliki peranan yang penting dalam upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim. Selain itu alih fungsi daerah resapan air menjadi bangunan-bangunan dari pusat perbelanjaan, permukiman, hingga perguruan tinggi di Semarang bagian atas menyebabkan air hujan yang turun langsung mengalir ke Semarang bagian bawah," paparnya.

Air tadi, lanjut Iqbal, juga membawa tanah akibat dari erosi dari hulu sungai hingga ke hilirnya. Akibatnya, terjadilah sedimentasi dan pendangkalan sungai. Berkurangnya daerah resapan air dan berkurangnya kapasitas sungai untuk menampung air hujan inilah yang kemudian menurut Walhi menjadi dua dari banyak faktor penyebab banjir di Kota Semarang.

"Pemerintah terlalu sibuk pada urusan pertumbuhan ekonomi -untuk segelintir orang- sampai lupa bahwa bencana sudah sampai seleher," katanya.

Rekomendasi