ERA.id - Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB, melihat kerumunan pengobatan alternatif yang dilakukan Ida Dayak, disebabkan oleh dua hal.
Pertama yakni mudahnya informasi untuk diviralkan, serta tingginya kebutuhan warga untuk sembuh dari penyakitnya.
Pengobatan alternatif yang dilakukan oleh Ida Dayak yang sedianya dilakukan di area gelanggang olahraga (GOR) Markas Divisi Infanteri (Divif) 1 Kartika, Kostrad Cilodong, Depok, Senin (3/3), terpaksa dibatalkan.
Banyaknya warga yang berkumpul memenuhi area tersebut untuk melihat maupun membutuhkan layanan pengobatan membuat situasi menjadi kurang kondusif.
Menurut Prof. Ari, penyebaran informasi saat ini begitu cepat, sehingga segala informasi mudah diviralkan.
“Dulu informasi tersebar dari mulut ke mulut, seperti saat Ponari dikenal masyarakat. Dengan batu yang dimasukkan dalam air, orang merasa lebih nyaman dan sehat ketika mengonsumsi air tersebut. Informasi itu tersebar dari mulut ke mulut dan tidak semasif sekarang. Sementara, untuk fenomena Ida Dayak, informasinya tersebar dan viral, sehingga masyarakat berbondong-bondong ke sana,” ujar Prof. Ari Fahrial.
Selain itu, fenomena ini juga menunjukkan tingginya upaya masyarakat untuk sembuh dari penyakitnya melalui segala cara, termasuk menjalani pengobatan alternatif. Masyarakat masih percaya, bahwa terapi tradisional bisa mengatasi kondisi sakitnya.
“Saya rasa wajar saja keinginan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan di situ, tetapi tentu akhirnya masyarakat sendiri yang menilai, apakah ia benar-benar mendapatkan manfaat yang dibutuhkan atau hanya manfaat plasebo atau semu saja. Jadi, itu dikembalikan lagi kepada masyarakat,” kata Prof Ari Fahrial.
Dari video-video pengobatan Ida Dayak yang beredar di media sosial, Prof. Ari melihat adanya proses pengurutan dengan menggunakan minyak, sebagaimana yang biasa dilakukan dalam pengobatan alternatif.
Metode ini sering dilakukan oleh para pengobatan tradisional atau terapi alternatif untuk merelaksasi otot, misalnya pada penderita keseleo dan salah urat, pada bayi setelah selesai dimandikan, serta pada ibu hamil untuk melancarkan persalinannya.
Dalam sejarah perkembangan ilmu kedokteran, dahulu pendekatan diagnosis dan terapi dilakukan dengan menggunakan kedokteran intuitif. Ini dilakukan oleh para dukun, para pengobat atau tabib, di mana mereka mencoba menggunakan cara tertentu, kemudian dilihat pengalamannya saat dibagikan kepada orang lain.
Kemampuan ini kemudian dipertahankan secara turun-temurun dari orang tua atau dari nenek-moyangnya.
Terkait metode pengobatan itu, Prof. Ari mengatakan bahwa pengobatan alternatif dapat ditemui di belahan bumi mana pun. “Di Amerika sekalipun, ada saja pengobat-pengobat tradisional, misalnya yang dilakukan oleh suku-suku di Amerika Latin," katanya.
Bagaimanapun, ada orang yang merasa lebih nyaman berobat kepada pengobat tradisional dibandingkan dokter. Atau pasien yang bolak-balik merasa tidak sembuh, mereka berusaha mencari terapi alternatif.
"Mudah-mudahan ketika dia merasa bahwa terapi yang ditawarkan ini sesuai yang diharapkan, sakitnya bisa disembuhkan,” ujar Prof. Ari.