ERA.id - Tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Makassar bersama Koalisi Advokasi Jurnalis (KAJ) Sulawesi Selatan, mendampingi jurnalis media online herald.id untuk memenuhi panggilan polisi soal klarifikasi kasus dugaan pencemaran nama baik, di Kantor Polrestabes Kota Makassar.
"Klien kami dipanggil untuk klarifikasi, kemudian pihak penyidik menyampaikan perihal laporan pengaduan dari mantan Staf Khusus (Stafsus) gubernur yang merasa dirugikan oleh terlapor yang diketahui adalah narasumber dalam pemberitaan tersebut," kata salah seorang penasihat hukum LBH Makassar, Firmansyah usai pemeriksaan tersebut, Kamis kemarin.
Ia menyampaikan pemanggilan jurnalis Herald, Suhandi, oleh pemeriksa Subdit Unit V Satreskrim Polrestabes Makassar terkait kasus dugaan kasus Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan kapasitas sebagai saksi.
Namun demikian, pemanggilan klarifikasi tersebut tidak disebutkan dalam surat panggilan dan peristiwa apa yang menjadi subjeknya, sehingga pihaknya menanyakan substansi permasalahannya sehingga diminta klarifikasi dan kemudian menjadi saksi.
"Kami pertanyakan tadi perihal pemanggilan klien kami. Ada laporan pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan dan menjadikannya saksi. Atas nama hukum klien kami berhak menolak untuk tidak memberikan keterangan sesuai yang diatur dalam pasal 4 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999, yakni hak tolak," ucap Firmansyah menegaskan.
Ia menjelaskan bahwa Undang-undang Pers yang merupakan Lex Spesialis (khusus) yang mengatur mekanisme sengketa Pers termasuk hak tolak di pasal empat. Sebab, kaitannya antara narasumber dengan jurnalis sangat kuat. Tujuannya, adalah demi melindungi sumber informasi atau nara sumbernya.
Hal ini juga merujuk pada pedoman Dewan Pers nomor: 01/P-DP/V/2007 tentang Penerapan Hak Tolak dan Pertanggungjawaban Hukum Dalam Perkara Jurnalistik dalam sengketa pers.
Ia menekankan pekerja jurnalis dalam menjalankan profesinya dilindungi Undang-undang termasuk tidak memberikan keterangan maupun berhak menolak memberi keterangan kepada siapapun demi menjaga dan melindungi nara sumbernya.
"Wartawan atau pekerja jurnalis berhak menolak memberikan keterangan dengan tujuan perlindungan atas nara sumbernya. Hal ini berkaitan dengan pemberitaan. Jadi klien kami bukan terlapor melainkan saksi, dan kami tegaskan menolak memberikan keterangan," ucap pria yang kerap disapa Charlie ini menekankan.
Perkara tersebut bermula dari laporan polisi oleh Hasanuddin Taibien selaku mantan Staf Khusus (Stafsus) eks Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman yang keberatan soal pemberitaan melalui konferensi pers yang diduga mencemarkan nama baiknya oleh terlapor Aruddini mengenai kebijakan gubernur memutasi dan tidak memberikan jabatan alias non job kepada puluhan Aparatur Sipil Negera (ASN) lingkup Pemprov Sulsel beberapa waktu lalu.
Menanggapi hal tersebut Ketua Tim KAJ Sulsel Haeril menyatakan pihaknya terus mengawal upaya dugaan pembungkaman dan kriminalisasi pers.
Dalam proses klarifikasi itu ada hak media ataupun wartawan untuk menolak memberikan keterangan, karena itu sesuai peraturan yang diatur dalam Undang-undang Pers maupun Pedoman Dewan Pers.
"Soal itu ada Undang-undang pers yang berlaku, jika ada masalah terkait karya jurnalis maka sejatinya mekanismenya harus melalui Dewan Pers. Dan kemudian ada juga terkait dengan MoU bersama Kapolri dan Dewan Pers soal sengketa pers. Mestinya harus melalui mekanisme tersebut," tuturnya menambahkan.
KAJ merupakan koalisi organisasi pers seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulsel, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Makassar dan Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulsel bersama LBH Pers Makassar dalam mengawal pemanggilan tersebut.