ERA.id - Praktik daur ulang alat rapid test antigen yang dilakukan lima tersangka pegawai PT Kimia Farma Diagnostik Sumatera Utara diperkirakan telah meraup keuntungan sebesar Rp1,8 miliar selama beroperasi sejak Desember 2020.
Hal itu diungkapkan Kapolda Sumut Irjen Pol RZ Panca Putra Simanjuntak dalam konferensi pers pengungkapan kasus daur ulang alat rapid test di Mapolda Sumut, Kamis (29/4/2021).
"Dari hasil pengungkapan yang dilakukan, petugas mengamankan barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp146 juta. Kita prediksi selama beroperasi meraup keuntungan mencapai Rp1,8 miliar," kata Kapolda Irjen Pol Panca.
Panca mengatakan, setiap hari laboratorium Kimia Farma di Bandara Kualanamu melayani hingga mencapai 200 orang setiap harinya. Setiap sekali melakukan tes swab, pasien dikenakan biaya sebesar Rp200 ribu.
"Bisa mencapai 150 sampai 200 orang yang melakukan tes swab ini. Kalau kita hitung saja 100 sehari (yang swab) maka dalam 3 bulan bisa mencapai 9000 orang. Jadi ini masih kita dalami dan menelusuri barang-barang apa saja yang di daur ulang," ujarnya.
Polisi dalam kasus ini menetapkan 5 orang tersangka termasuk business manager PT Kimia Farma Diagnostik Sumut berinisial PM (45) beserta SR (19) berperan sebagai kurir yang membawa barang bekas dari bandara menuju PT Kimia Farma untuk di bersihkan, DJ (20) yang bertugas membersihkan barang bekas dengan menggunakan alkohol.
Selanjutnya M (30), dan R (21) yang bertugas sebagai menulis surat hasil daripada pasien calon penumpang yang melakukan pemeriksaan di Bandara Kualanamu.
Dikenakan Pasal Berlapis
Irjen Pol Panca Putra mengatakan para tersangka senagaja melakukan perbuatan daur ulang alat rapid test antigen untuk digunakan kembali kepada pasien dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
Para tersangka dijerat dengan pasal berlapis yakni melanggar Undang-Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 dan Undang-Undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
"Tersangka kita kenakan pasal Pasal 98 ayat (3) Jo pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman 10 tahun dan Pasal 8 huruf (b), (d) dan (e) Jo pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman hukum paling lama 5 tahun," pungkasnya.