Tolak Penetapan UMP dan UMK, Buruh ke Gubsu Edy Rahmayadi: Tak Layak, untuk Beli Pakaian Dalam pun Tak Bisa

| 06 Dec 2021 15:30
Tolak Penetapan UMP dan UMK, Buruh ke Gubsu Edy Rahmayadi: Tak Layak, untuk Beli Pakaian Dalam pun Tak Bisa
Seratusan buruh di Sumut geruduk kantor Gubsu Edy Rahmyadi di Jalan Pangeran Diponegoro Medan (Muchlis Ariandi/Era.id)

ERA.id - Ratusan buruh di Sumatera Utara (Sumut) menyatakan sikap menolak penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang telah ditetapkan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi.

Para buruh menilai kenaikan UMP dan UMK yang ditetapkan Gubsu Edy tidak berpihak dan menyejahterakan buruh. Terlebih, saat ini kebutuhan ekonomi terus meningkat.

"Bapak Gubernur Edy padahal pernah bilang kalau buruh harus diupah layak karena peranannya dalam menjaga stabilitas ekonomi. Tapi upah yang ditetapkan tidak layak, untuk membeli pakaian dalam pun tak bisa," kata seorang buruh saat berorasi di depan kantor Gubernur Sumut, Jalan Pangeran Diponegoro Medan, Senin (6/12/2021).

Buruh mendesak Gubsu Edy merevisi UMP dan UMK dan meminta kenaikan upah sebesar 10 persen hingga 15 persen.

"Kami meminta gubernur Edy Rahmayadi merevisi keputusan UMP dan UMK di seluruh Sumut. Kebijakan yang ditetapkan gubernur tidak berpihak kepada buruh dan pekerja," kata Anggiat Pasaribu, saat berorasi didepan kantor Gubernur Sumut.

Dia mengatakan, buruh tidak dihargai dan mendapat posisi yang layak dalam kebijakan pengupahan. Padahal, fungsi buruh sangat vital dalam menopang perekonomian, terlebih saat pandemi COVID-19 yang melanda sejak 2020.

Ratusan buruh yang terdiri atas serikat buru SBBI, Federasi SERBUNDO, KSBSI, SBMI Merdeka, SERBUNAS, dan PPMI, itu meminta Gubernur Edy Rahmaydi menetapkan UMP dan UMK sesuai dengan PP 78.

"Kami meminta Gubernur Edy Rahmayadi merevisi keputusan UMP dan menetapkan kenaikan upah sebesar 10 persen," pinta buruh.

Selain itu buruh juga menyinggung terkait Undang-Undang Omnibus Law yang dinyatakan inkonstitusional berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan adanya perbaiki dalam kurun waktu dua tahun.

"UU Omnibus Law yang merupakan undang-undang sapujagat itu dinyatakan inkonstitusional, tapi masih dipakai di negara ini. Malu kita dengan negara tetangga, sebab tetap memakai aturan yang sudah dinyatakan rusak," beber salah seorang buruh saat berorasi.

Rekomendasi