ERA.id - Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, beban ekonomi akibat komplikasi hipertensi masih sangat tinggi.
Ketua Panitia The 18th Annual Scientific meeting of Indonesian Society of Hypertension (InaSH) 2024, dr. BRM Ario Soeryo Kuncoro, Sp.JP(K) menjelaskan, klaim BPJS terbesar pada 2023 karena penyakit jantung.
Penyakit tersebut berkaitan dengan para pasien yang juga menderita hipertensi.
"Berdasarkan data dari BPJS, klaim terbesar di tahun 2023 masih dipegang oleh penyakit jantung dengan besaran Rp17,63 triliun. Berdasarkan laporan BPJS di tahun 2023, dari 23 juta peserta JKN yang di telah menjalani skrining riwayat kesehatan, sekitar 8 persen diantaranya berisiko menderita hipertensi," ujar Dokter Ario saat konferensi pers di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, pada Jumat (23/2/2024).
Hipertensi yang tidak ditangani yang baik akan menimbulkan berbagai komplikasi di tubuh. Jika sudah demikian, tentu saja beban ekonomi dapat dialami pasien hipertensi karena pengobatan yang dijalani pasien tidak bisa dikatakan murah, apalagi jika sudah masuk dalam tahap komplikasi yang menyerang organ lain.
“Hipertensi yang tidak tertangani akan menimbulkan kerusakan di organ lain termasuk otak dan ginjal. Bisa dibayangkan biaya kesehatan yang akan sangat membengkak apabila sampai terjadi gangguan di tiga organ sekaligus. Harus diingat juga bahwa penyakit jantung, ginjal dan otak termasuk 8 penyakit katastropik dengan klaim BPJS terbesar di Indonesia," jelasnya.
Rutin periksa tekanan darah jadi langkah pencegahan
Dengan kondisi seperti ini, kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan organisasi lainnya diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahayanya tekanan darah tinggi atau hipertensi.
Pengukuran tekanan darah secara rutin dapat menjadi cara utama untuk menanggulangi kasus hipertensi. Hal ini pun dapat menjadi langkah pencegahan komplikasi yang bisa dilakukan masyarakat.
Namun sayangnya, pemeriksaan tekanan darah di luar klinik belum banyak dilakukan di Indonesia saat ini, sehingga masih sulit untuk mendeteksi para penderita hipertensi ke setiap lapisan masyarakat.
"Pengukuran tekanan darah di klinik masih menjadi cara satu-satunya untuk diagnosis hipertensi di Indonesia. Karena keterbatasan sarana, pengukuran tekanan darah di luar klinik belum banyak dilakukan di Indonesia," kata dr. Erwinanto, Sp.JP(K), FIHA, Ketua Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (InaSH).
Dengan demikian, kini diperlukan strategi nasional untuk mendeteksi hipertensi secara akurat di Indonesia. InaSH sendiri melalui acara The 18th Annual Scientific meeting of Indonesian Society of Hypertension 2024 berusaha untuk melakukan tata laksana mengatasi hipertensi dan memberikan arah terapi bagi seluruh dokter untuk kesehatan pasien hipertensi.
"Strategi ini terutama ditujukan untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah di klinik sesuai protokol yang baku dengan cara penyebaran informasi dan pelatihan tenaga kesehatan tentang tata cara pemeriksaan tekanan darah yang benar oleh semua pemangku kepentingan,” kata Dokter Erwin.
Lebih lanjut, acara InaSH ke-18 kali ini membahas tentang capaian dan perkembangan terakhir mengenai tata laksana hipertensi.