Pemerintah Korsel Batalkan Sanksi ke Dokter Pelatihan, Janjikan Bantuan Khusus

| 09 Jul 2024 12:10
Pemerintah Korsel Batalkan Sanksi ke Dokter Pelatihan, Janjikan Bantuan Khusus
Dokter koresel mogok kerja (X/@ByteMagnet)

ERA.id - Pemerintah Korea Selatan memutuskan untuk membatalkan semua sanksi yang akan diberikan kepada pemogokan dokter peserta pelatihan. Pembatalan ini disertai dengan janji pemerintah untuk memberikan fasilitas khusus kepada mereka.

Menteri Kesehatan Cho Kyoo-hon mengatakan pemerintah memutuskan untuk tidak memberikan sanksi kepada dokter yang masih menjalani pelatihan sesuai dengan permintaan komunitas medis.

"Mulai hari ini, pemerintah memutuskan untuk tidak melakukan tindakan administratif terhadap dokter yang masih menjalani pelatihan terlepas dari apakah mereka kembali ke rumah sakit, mengingat adanya permintaan dari komunitas medis dan situasi layanan kesehatan," kata Cho, dikutip Yonhap News, Selasa (9/7/2024).

Bukan hanya itu saja, pemerintah juga akan memberikan bantuan khusus kepada para dokter junior yang kembali bekerja setelah sempat mogok. Para dokter yang juga kembali mendaftar pelatihan juga akan menerima fasilitas serta pembebasan sanksi serupa.

"Pemerintah akan memberikan bantuan khusus kepada para dokter junior yang kembali sehubungan dengan pelatihan mereka, serta bagi mereka yang memilih untuk mendaftar lagi untuk kursus pelatihan pada bulan September," tegasnya.

Sebelumnya, pemerintah mengatakan akan menangguhkan izin medis para dokter yang mogok dan mengambil tindakan administratif dan hukuman lainnya untuk tindakan kolektif tersebut sesuai dengan hukum.

Namun komunitas medis telah menyerukan penarikan diri, dan mengatakan bahwa tindakan tersebut justru memperburuk situasi karena para dokter enggan untuk kembali bekerja karena khawatir bahwa tindakan tersebut akan berujung pada hukuman terhadap rekan-rekan mereka yang membangkang.

Para pejabat kemudian mengisyaratkan untuk menunda, bukannya membatalkan, rencana tersebut, namun Cho menegaskan bahwa pemerintah akan menerima permintaan para dokter.

"Hal ini bertujuan untuk meminimalkan kekosongan layanan medis bagi pasien yang sakit parah dan darurat dan untuk membina dokter profesional pada waktu yang tepat untuk menjamin kepentingan publik," kata Cho.

Meski demikian, keputusan pemerintah itu menuai kritik karena dinilai melanggar prinsip keadilan dalam penanganan tindakan buruh oleh pemerintah. Hal ini karena dokter diperbolehkan untuk tidak dihukum meskipun melakukan tindakan ilegal.

Belum diketahui secara pasti berapa banyak dokter yang mogok yang akan kembali bekerja setelah pengumuman tersebut. Namun pemerintah berjanji akan mendorong reformasi struktur tenaga kerja di rumah sakit umum besar dengan mengurangi ketergantungan mereka pada dokter peserta pelatihan.

Selain itu, pemerintah juga berjanji akan meningkatkan jumlah dan peran dokter profesional dan perawat bantuan fisik. Diharapkan dengan adanya hal ini, rumah sakit besar bisa lebih fokus dalam memberikan perawatan kepada pasien darurat, kasus kritis, dan penyakit langka.

"Pemerintah akan melakukan upaya maksimal untuk berdialog dengan komunitas medis. Silakan bergabung dengan kami untuk diskusi konstruktif guna memajukan sistem medis," imbuhnya.

Para dokter juga mendesak pemerintah untuk meninjau kembali keputusan kenaikan kuota, dengan menyatakan bahwa sekolah kedokteran tidak akan mampu menangani peningkatan pendaftaran, yang akan membahayakan kualitas pendidikan kedokteran dan pada akhirnya layanan medis di negara tersebut.

Meskipun mendapat tentangan keras dari para dokter, pemerintah menyelesaikan kenaikan kuota penerimaan sekitar 1.500 siswa sekolah kedokteran untuk tahun depan dalam upaya mengatasi masalah yang timbul dari kekurangan dokter.

Diketahui lebih dari 12.000 dokter peserta pelatihan, atau lebih dari 90 persen dari jumlah total dokter, telah melakukan pemogokan dalam bentuk pengunduran diri massal sejak tanggal 20 Februari. Aksi ini dilakukan sebagai protes atas kenaikan kuota penerimaan sekolah kedokteran oleh pemerintah, dan sebagian besar dari mereka menolak perintah negara untuk kembali bekerja.

Rekomendasi