ERA.id - "Kelun yani kelun!" Itulah slogan protes di Lebanon - "Semua artinya semua!" - selama enam bulan terakhir. Ratusan ribu warga Lebanon yang turun ke jalanan dalam kondisi tak punya uang dan pengangguran hanya ingin satu hal: semua elit politik, tak terkecuali para anggota milisi Hezbollah yang sangat berpengaruh, harus hengkang dari pusat kendali pemerintahan. Pertanyaannya, bisa kah?
"Situasi di Lebanon saat ini mencerminkan negara-negara Arab tahun 2010," seperti dikatakan Rami G Khouri, profesor kebijakan publik di American University di Beirut. Gelombang demonstrasi dari rakyat yang marah dan termiskinkan memenuhi jalanan untuk meminta pemilik kekuasaan turun dari tahta.
"Namun, berbeda dengan Sudan, Algeria, Suriah, Mesir, Irak, dan manapun juga, warga Lebanon sedang berjibaku melawan rezim militer yang tak mudah dilucuti kekuasaannya."
Lebanon sendiri bukannya tanpa alternatif selain Hezbollah, justru sebaliknya. Partai-partai sektarian utama justru terdiri dari kaum Sunni, gabungan kaum Kristiani, Druze, dan lain-lain. Namun, mereka cenderung mudah berkompromi bila ditekan, semata-mata agar mereka tetap bisa mengakses aliran uang di pemerintahan Lebanon.
Tahun lalu, warga Lebanon pun semakin getir melihat partai-partai besar tidak bisa lagi bekerja secara semestinya jika tanpa berafiliasi dengan dukungan kelompok Hezbollah.
"Secara militer, Hezbollah lebih kuat daripada negara Lebanon. Secara politik, ia lebih kohesif dari organisasi sektarian manapun," kata Khouri.
Ketika demonstrasi akhir pekan lalu (8-9/8/2020) diikuti puluhan ribu warga, yang geram atas kejadian ledakan di Beirut beberapa hari sebelumnya, maka Lebanon sebenarnya sedang melihat dua kekuatan besar negara itu saling beradu, yaitu Hezbollah melawan rakyat Lebanon.
Kompromi atau Pergi?
Rakyat Lebanon sudah naik pitam. Nilai mata uang anjlok 50 persen terhadap mata uang dolar AS. Listrik mati. Angka pengangguran meningkat. Belum lagi ledakan berkekuatan 3,5 skala Richter dari 2.750 ton metrik amonium nitrat telah menyebabkan 300 ribu warga Beirut kehilangan tempat tinggal.
Sebuah prediksi menilai bahwa 50 persen populasi Lebanon akan hidup di bawah angka kemiskinan, tahun depan.
"Kami ingin menghancurkan dan menghabisi pemerintahan ini. Mereka tidak memberi kami pekerjaan maupun hak-hak kami," kata Nissan Ghrawi, seorang pemuda 19 tahun yang tengah kehilangan pekerjaan, seperti dikutip oleh Al-Jazeera.
Saat ini, ketika pemerintahan Lebanon mengambang hingga dibentuknya pemerintahan baru, semua kembali kepada proses negosiasi antara rakyat Lebanon dengan kelompok elit.
Khouri, menulis di Al Jazeera, berpendapat bahwa Hezbollah sendiri tidak ingin Lebanon hancur, namun, juga tidak ingin memerintah Lebanon sendirian.
#Beirut protests #antireport pic.twitter.com/FcZkttXimf
— NoBorders (@Refugees_Gr) August 8, 2020
"Namun, mereka juga tak akan mau melepaskan persenjataan dan kekuataan yang pernah memaksa Israel melakukan 2 kali gencatan senjata di perbatasan Israel-Lebanon," kata sang profesor.
Ia sendiri pesimis bahwa akan terjadi kesepakatan antara Hezbollah dan para demonstran Lebanon. Banyak warga Lebanon telah memikirkan hal tersebut selama bertahun-tahun, dan tidak ada kesimpulan.
Khouri sendiri berpikir bahwa inilah saatnya Lebanon benar-benar memikirkan sistem politik yang baru, bahkan memikirkan apakah Hezbollah perlu diintegrasikan ke dalam sistem pertahanan negara tersebut.
Para demonstran telah berhasil menekan kabinet Hassan Diab untuk mundur pada Senin (10/8/2020) lalu. Setengah kekuatan korup Lebanon berhasil diusir. Namun, apakah mereka akan bisa membebaskan sistem politik dan militer Lebanon dari cengkeraman Hezbollah? Semua kembali pada persistensi aksi protes di Lebanon dan fokus mereka pada slogan yang selalu dibawa selama enam bulan terakhir - "Kelun yani kelun!" artinya semua, tanpa terkecuali, harus diubah.