Ditodong Senjata dan Disandera, Presiden Mali 'Lengser Keprabon'

| 19 Aug 2020 14:52
Ditodong Senjata dan Disandera, Presiden Mali 'Lengser Keprabon'
Rombongan militer pemberontak membawa Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita, Selasa (18/8/2020). Beberapa jam kemudian, Presiden Keita menyatakan mundur dan membubarkan parlemen Mali.

ERA.id - Presiden Mali Ibrahim Bourbacar Keita memutuskan mundu dari posisi presiden pada Rabu (19/8/2020) pukul 00.15 dini hari waktu setempat, pasca ditodong senjata dan disandera selama beberapa jam di pangkalan militer Kati. Peristiwa ini menjadi kulminasi aksi protes terhadap Presiden Keita sejak dipilih lagi oleh parlemen Mali pada 30 April 2020.

Presiden Keita memakai masker dan terlihat kelelahan saat menyatakan mundur di depan kamera televisi nasional Mali.

"Hari ini, beberapa bagian dari militer memutuskan bahwa intervensi harus dilakukan. Apakah saya punya pilihan lain? Saya tidak ingin terjadi pertumpahan darah."

Seperti dilaporkan kantor berita Al Jazeera, Rabu, Keita memutuskan untuk "menyerahkan kepemimpinan sejak saat ini juga." Di saat yang bersamaan, ia juga membubarkan parlemen Mali.

Namun, banyak pihak sangsi, apakah dengan mundurnya Presiden Mali kekuasaan akan otomatis beralih ke pihak militer pemberontak.

Akibat Anulir 31 Suara

Mundurnya Presiden Keita terjadi beberapa jam pasca pihak tentara mengangkat senjata dan melaksanakan operasi pemberontakan di sebuah basis militer di Kati, sebuah kota dekat Bamako, Mali. Saat itu, tentara oposisi menodongkan senjata dan menyekap Presiden Keita dan Perdana Menteri Boubou Cisse.

"Perdana menteri dan presiden diambil pihak tentara pemberontak menuju Kati menggunakan kendaraan bersenjata," kata Boubou Doucoure, direktur komunikasi PM Cisse, Selasa (18/8/2020).

Kala itu demonstran dari pihak oposisi telah berkumpul di sebuah alun-alun kota Bamako sebagai bentuk dukungan terhadap para tentara. Saat itu rumor tentang menyerahnya dua figur tertinggi politik Mali telah menyebar luas.

"IBK (inisial Presiden Keita, red) tidak mau mendengarkan rakyatnya. Kami telah mengajukan sebuah alternatif, namun, ia meresponnya dengan melakukan pembunuhan," kata Nouhoum Togo, juru bicara koalisi M5-RFP, kepada kantor berita Reuters.

Aksi protes ini telah terjadi selama berpekan-pekan untuk menuntut mundurnya Presiden Keita akibat kolapsnya ekonomi Mali dan situasi keamanan yang memburuk. Konflik internal Mali bahkan telah memicu tegangan antar-etnis dan mempengaruhi situasi politik di Nigeria dan Burkina Faso.

Pada 30 Mei lalu, sebulan setelah Mahkamah Konstitusi Mali menganulir 31 suara parlemen dan membuat Presiden Keita terpilih lagi, partai-partai politik oposisi dan sejumlah kelompok sipil membentuk aliansi oposisi bernama "Movement of June 5 - Rally of Patriotic Forces" (M5-RPF). Kelompok inilah yang mengundang warga Mali untuk melancarkan aksi massa besar-bensaran menuntut pengunduran diri Keita.

Pada tangga 5 Juni, dipimpin oleh pemimpin Muslim Mahmoud Dicko, ribuan orang benar-benar turun ke jalanan ibukota Bamako. Mereka menuduh sang presiden tak becus menangani krisis yang terjadi di negara tersebut.

Antara bulan Juni-Juli, Presiden Keita berusaha mengakomodasi keinginan pihak oposisi.

Namun, hal itu tidak diindahkan. Pihak oposisi masih meminta parlemen dibubarkan dan agar warga Mali melakukan boikot besar-besaran. Aksi ini memacai puncak paling berdarahnya pada 10 Juli, ketika 14 orang tewas setelah pihak keamanan dan warga Bamako berseteru selama tiga hari.

Situasi itu tak menghentikan Presiden Keita untuk mendekatkan para 'sekutunya' di pusat pemerintahan. Pada 10 Agustus lalu, Keita menyumpah sembilan hakim Mahkaman Konstitusi baru. Hal ini, menurut reporter Nicolas Haque dari Al Jazeera makin "memperparah api kemarahan para demonstran". Rangkaian  demonstrasi itu berpuncak pada penyekapan sang presiden, yang diikuti pengunduran dirinya pada Rabu (19/8/2020) dini hari waktu setempat.

Beberapa jam kemudian, para tentara Komite Nasional Pembebasan Rakyat Mali yang berada di aksi kup tersebut tampil di kanal televisi nasional. Tampak kelelahan, mereka berusahan mengembalikan negara tersebut pada stabilitas.

"Kami tidak menginginkan kekuasaan, namun, kami menginginkan stabilitas negara," kata Ismail Wague, wakil kepala Angkatan Udara Mali, seperti dikutip Al Jazeera.

"Peristiwa ini akan memampukan kami untuk menyelenggarakan pemilihan umum dan institusi pemerintahan yang kuat bagi Mali, yang bisa mengelola hidup sehari-hari rakyat Mali dan mengembalikan kepercayaan antara pemerintah dan rakyatnya."

Belum ada komentar resmi dari kelompok oposisi Mali. Namun, pada Selasa (18/8/2020), koalisi M5-RFP yang menggelar aksi protes besar-besaran menyatakan mendukung kelompok militer pemberontak. Juru bicara Nouhoum Togo juga mengatakan pada kantor berita Reuters bahwa peristiwa Selasa lalu "bukanlah kup militer, tapi sebuah pemberontakan massa."

Rekomendasi