ERA.id - Seorang teroris asal Australia yang menembak mati 51 umat Muslim di dua masjid di kota Christchurch, New Zealand, Brenton Tarrant divonis hukuman penjara seumur hidup, Kamis (27/8/2020).
Hukuman yang diterima Brenton Tarrant (29), warga Australia, menjadi yang pertama diberikan di New Zealand, dan pengadilan tak memberikan kemungkinan peringanan di kemudian hari.
Insiden penembakan di Christchurch terjadi Maret tahun lalu, menewaskan 51 orang Muslim yang sedang beribadah di dalam masjid dan melukai puluhan orang. Kejadian ini menyelimuti New Zealand dengan rasa berkabung sekaligus mempererat persaudaraan. Debat pun saat itu muncul tentang bagaimana sang pelaku harus diadili.
Sebelumnya, Kamis lalu, Tarrant mengaku tidak akan menolak semua putusan yang akan diterimakan padanya meskipun ia memiliki hak untuk itu. Hal ini sempat mengejutkan sejumlah korban yang menghadiri persidangan saat itu.
"Anda tampak sebagai seseorang yang bermasalah, yang termotivasi oleh rasa benci pada orang-orang yang Anda anggap berbeda dari Anda," kata hakim Cameron Mander saat membacakan putusannya, seperti dilansir The Guardian.
"Anda tidak mengutarakan rasa bersalah atau mengakui dampak yang telah Anda akibatkan," kata sang hakim. "Meski saya mengapresiasi langkah Anda untuk tidak membela diri dalam persidangan ini, Anda tidak terlihat menyesal atau malu."
"Anda telah melakukan pembantaian," kata Hakim Mander. "Anda menghabisi orang-orang yang tidak membawa senjata dan tak sanggup melindungi diri."
Sebelum membacakan amar putusannya, hakim juga membacakan pernyataan dari keluarga korban, tentang betapa besar kehilangan yang mereka rasakan. Seorang bayi berumur 3 tahun, Mucaad Ibrahim, ikut terbunuh dalam insiden Christchurch tersebut dan sang hakim menyatakan, "Tak ada orang tua yang mampu melupakan terbunuhnya anak sekecil itu."
Sang pelaku terorisme menayangkan sebagian aksinya secara live di Facebook dan mempublikasikan pernyataan manifesto kelompok ekstrimis secara daring, yang isinya menjabarkan pandangannya yang anti-Islam. Maret lalu, ia didakwa bersalah atas pembunuhan 51 orang, satu percobaan pembunuhan, dan tuduhan aksi terorisme.
Jaksa penuntut umum dalam persidangan ini, Mark Zarifeh, mengatakan tidak ada hukuman ringan yang bisa diberikan pada sang pelaku, "karena beratnya kesalahan dan besarnya kehilangan dan dampak yang dihasilkan."
"Kejahatan dalam kasus ini tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah kriminal di New Zealand," kata Zarifeh. Ia juga mengatakan bahwa aksi pembunuhan itu telah direncanakan jauh-jauh hari dan dipikirkan secara matang oleh sang pelaku.