ERA.id - Berbeda dengan pendekatan Amerika Serikat yang nasionalis, China bersikap lebih 'globalis' dengan Presiden Xi Jinping mengatakan bahwa vaksin COVID-19 kelak akan menjadi 'kekayaan global' khususnya di negara-negara berkembang. Niat tebar pesona di jalur sutera?
Hampir setahun setelah COVID-19 ditemukan pertama kali di Wuhan, pada Oktober lalu China bergabung dengan COVAX, yaitu inisiatif distribusi vaksin COVID-19 yang didukung oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Proyek COVAX berupaya untuk memastikan bahwa vaksin korona bisa terdistribusi secara merata baik di negara kaya maupun miskin. Proyek ini pada intinya bertujuan mencegah negara-negara berduit memborong vaksin, dan agar produk tersebut bisa diutamakan ke kelompok-kelompok paling rentan di seluruh dunia.
Sejak awal pejabat publik di China sudah memposisikan vaksin COVID-19 yang diproduksi negara mereka akan menjadi milik dunia berkembang pula, seperti disampaikan CNN, Selasa (2/12/2020).
Dalam sebuah konferensi jarak jauh dengan pemimpin negara-negara Afrika, Presiden Xi berjanji bahwa "sekalinya pengembangan dan persiapan vaksin COVID-19 rampung, negara-negara Afrika akan menjadi yang pertama menerimanya.
Sementara itu, Perdana Menteri China Li Keqiang mengatakan bahwa Beijing akan memberi akses prioritas kepada Kamboja, Myanmar, Laos, Thailand, dan Vietnam. Negara-negara lain yang juga turut diprioritaskan pemerintahan China perihal akses vaksin korona adalah Afghanistan dan Malaysia.
Seperti diketahui, banyak dari negara-negara tersebut dilewati oleh proyek Belt and Road Initiative (BRI), proyek infrastruktur dan perdagangan bernilai triliunan rupiah yang jalannya agak tersendat selama pandemi ini. CNN mengabarkan bahwa beberapa pejabat China juga telah membincangkan proyek "Health Silk Road", atau Jalan Sutera Kesehatan yang mengadopsi jalur perdagangan rempah di jaman China kuno.
Di pertemuan WHO bulan Mei lalu, Presiden Xi juga berjanji akan mendonasikan dana 2 miliar dolar As selama dua tahun ke depan untuk membantu negara-negara lain dalam menghadapi pandemi. Beijing juga menawarkan bantuan utang sebesar 1 miliar dolar AS ke negara-negara Amerika Latin dan Karibia agar bisa mengakses vaksin korona buatan China.
Namun, nampaknya 'diplomasi vaksin' China tak akan selalu berjalan mulus. Di Brazil saja vaksin korona buatan perusahaan asal China, Sinovac, tersandera oleh tarik ulur politik antara Presiden Jair Bolsonaro yang dikenal keras terhadap China, dengan gubernur Sao Paulo, Joao Doria, yang digadang-gadang bakal menjadi penantang Bolsonaro di Pilpres Brazil tahun 2022.
Di Bangladesh, uji vaksin Sinovac juga mandeg karena perdebatan soal pembiayaan.
Dunia internasional pun juga mempertanyakan ijin penggunaan vaksin secara darurat dari pemerintahan China, di mana hampir satu juta warga China dikabarkan telah disuntik dengan vaksin korona yang belum terbukti lulus uji keamanan.
Di luar itu, publik juga mempertanyakan tingkat efektivitas vaksin COVID-19 buatan China. Pekan lalu terdengar kabar bahwa vaksin buatan Pfizer dan Moderna memiliki tingkat efikasi di atas 90 persen. Belakangan, vaksin korona buatan AstraZeneca disebut memiliki tingkat kemanjuran sebesar 70 persen, meski penelitian sendiri masih akan tersu dilakukan. Namun, sejauh ini belum ada perusahaan China yang merilis tingkat efektivitas vaksin korona buatan China, meski banyak wakil-wakil perusahaan farmasi China itu mengujicobakan vaksin mereka ke anggota keluarga sendiri sebagai demonstrasi keamanan atas produk yang tengah ditawarkan.