ERA.id - Sebuah 'dokumen internal' mengenai data medis dari Provinsi Hubei, China, yang isinya pertama kali diberitakan oleh CNN pada Selasa (1/12/2020), memperlihatkan bagaimana informasi yang dipaparkan oleh pemerintah China ke publik dan organisasi kesehatan internasional selama ini tidak singkron dengan apa yang sebenarnya mereka ketahui.
Dalam dokumen file lunak yang diberi catatan "dokumen internal, jaga kerahasiaannya", otoritas kesehatan di Provinsi Hubei, China memaparkan bahwa mereka telah mendapati setidaknya 5.918 kasus COVID-19 baru pada tanggal 10 Februari. Ditilik lagi, angka ini jelas jauh lebih tinggi dari yang diungkapkan pemerintah China ke publik.
Pada tanggal itu, otoritas kesehatan China secara publik hanya melaporkan adanya 2.478 kasus COVID-19 'terkonfirmasi' atau kurang dari 50 persen total kasus korona yang telah diketahui.
Data pencatatan pasien terkait COVID-19 di Hubei saat itu dimasukkan dalam sub-sub kategori. Di dokumen itu tertulis bahwa "kasus terkonfirmasi" jumlah 2.345, "kasus yang terdiagnosa secara klinis" 1.722, dan "kasus suspek" 1.796. Kriteria yang kaku ini pada akhirnya menimbulkan persepsi yang keliru, demikian disampaikan seorang analis.
"Banyak kasus suspek di situ seharusnya dimasukkan dalam data jumlah kasus terkonfirmasi," kata Huang dari Konsul Hubungan Internasinoal, yang turut memberi validasi atas otentisitas dokumen tersebut.
"Angka yang mereka ungkapkan ke publik bersifat konservatif, dan ini menunjukkan betapa membingungkan, kompleks dan kisruh situasi saat itu," kata dia.
CNN juga melaporkan bahwa dokumen setebal 117 halaman yang bocor dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Provinsi Hubei - yang keasliannya turut dikonfirmasi sejumlah pakar dan ahli intelijen - mengungkapkan bukti tendensi China untuk 'tidak membesar-besarkan' wabah penyakit yang pada awal tahun itu masih dianggap asing.
Dokumen yang memuat catatan data medis dari periode Oktober 2019 hingga April 2020 itu menunjukkan bahwa proses konfirmasi kasus COVID-19 di Provinsi Hubei tidak seefisien dan seakurat yang mereka sampaikan ke publik. Dalam laporan itu, di awal Maret disebutkan bahwa rata-rata waktu yang diperlukan untuk mengonfirmasi infeksi COVID-19 adalah 23,3 hari sejak munculnya gejala, yang mana terlalu lama dan telah menghambat proses pengawasan dan pencegahan penyakit tersebut.
CNN mengaku berusaha mencari tanggapan dari Kementerian Luar Negeri dan Komisi Kesehatan Nasional China, sekaligus Komisi Kesehatan Provinsi Hubei. Tapi mereka belum mendapatkan respon otoritas China tersebut hingga laporan dirilis.
Enggan Terbuka Jadi Celaka
Banyak pakar kesehatan meyakini bahwa dokumen internal, yang diberikan oleh 'whistleblower' dari dinas kesehatan China, ini mengungkapkan banyak hal tentang pandangan pemerintah China soal isu kesehatan masyarakat.
"Jelas mereka telah melakukan kesalahan. Dan jenis kesalahan mereka bukan sekadar yang mungkin Anda lakukan keetika menangani sebuah penyakit baru, namun, juga kesalahan birokratis dan yang diakibatkan oleh motif-motif politik," kata Yanzhong Huang, peneliti senior bidang kesehatan global di Konsul Hubungan Internasional, yang telah banyak menulis mengenai kesehatan masyarakat di China.
"Konsekuensinya bertaraf global. Anda tak akan pernah mendapatkan 100 persen transparansi. Tak cuma upaya menutup-nutupi fakta secara sengaja, saat bersinggungan dengan sebuah virus baru Anda juga terbatasi oleh teknologi dan isu-isu lainnya."
"Pun ketika mereka (pemerintah China) benar-benar telah 100 persen transparan, pemerintahan Trump masih akan menyepelekan penyakit ini. Sehingga, mungkin pandemi seperti ini memang tidak akan pernah terhindarkan."
Selain adanya banyak bocoran fakta terkait masa awal pandemi COVID-19, laporan itu juga menunjukkan bahwa pada 1 Desember 2019, ketika pasien pertama korona mulai memunculkan gejala, di Provinsi Hubei pun tengah terjadi wabah influenza musiman yang jumlah pasiennya meningkat 20 kali lebih banyak dari tahun sebelumnya, demikian diberitakan CNN. Hal ini menimbulkan beban yang makin berat bagi otoritas medis setempat.
Epidemi influenza, disebut dalam dokumen itu, tidak hanya muncul di Wuhan pada bulan Desember 2019, namun justru paling besar terjadi di Kota Yichang dan Xianning yang letaknya tak berjauhan. Hingga kini belum diketahui, dan tidak disimpulkan dalam dokumen itu, soal apakah ada koneksi antara wabah influenza itu dengan munculnya COVID-19 di China. Namun, hingga kini pemerintah China belum mempublikasikan skala wabah influenza di salah satu daerahnya tersebut kala itu.
Bocoran dokumen ini diterima dunia internasinoal di tengah naiknya tekanan dari Amerika Serikat dan Uni Eropa pada China, yaitu agar negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping itu kooperatif dengan permintaan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang ingin menyelidiki asal muasal wabah COVID-19.
Namun, hingga kini, pakar kedokteran masih belum mendapat akses ke catatan medis dan data mentah kesehatan masyarakat di Provinsi Hubei.
WHO pekan lalu juga mengatakan masih sekadar "dijanjikan oleh pemerintah China" bahwa mereka suatu saat akan diberi akses ke lapangan guna menginvestigasi kebenaran dari sumber pandemi korona ini.